Cerpen Ardy Suryantoko
Lelaki itu mulai benci
dengan cahaya. Remang-remang yang muncul dari celah rumput atap gua. Pikirannya
mengikal seperti rambut gimbal. Setiap hela nafas yang ke luar dari resapan
masa lalu. Cacian itu terus saja bergeming, lalu mengembang. Setiap desir
kenangan menyelip di gendang telinganya.
“Terus saja kalian maki,
bukankah memang pantas dimaki?” gumamnya. Lelaki itu terus saja memikirkan
cacian “Sikak, siak, sika...” kenanganya. Lalu terlintas nama-nama bocah kecil,
teman masa kecilnya. Ari, Adit, dan Anas teman yang selalu bermain dengannya di
tepian desa. Adit, teman yang sedikitpun tak bisa dilupaknnya.
“Gembel sikak! hahaha”
begitu katanya mempengaruhi teman yang lain. Duduk terdiam di emper kali,
bercermin pada air keruh. “Bocah pembawa sial, sikak, siak, sika..” ejek teman meninggalkannya
pulang pada senja yang ranum.
Tetesan air jatuh
menggenang. Digenggamnya batu erat, diikuti bibirnya komat-kamit mengucap
mantra dan berdoa. Dahinya mengkerut, mata memejam tajam. Seperti mengingat
sesuatu yang tak ingin diingatnya. Tangan dan bibirnya seirama bergetar
kencang.
“Bocah pembawa sial!
Hahaha..mati saja, daripada menjadi beban keluarga!” suara-suara menyilet daun
telinganya. Ruang kosong dalam hati tiba-tiba sesak. “Asu deke!” tangan
kanannya mengambil batu, seketika dilemparkan batu itu mengenai kepala Adit.
Darah mengucur deras memulas merah wajah Adit. Dia berlari kencang menjauh.
Pencarian terus
dilakukan. Pada sosok lelaki muda yang seketika menggila. Nafasnya
terengah-engah dibalik ilalang memanjang. “Dia di sini!” teriak seorang warga.
Seketika dia meloncat kembali berlari entah kemana tujuannya. “Sialan bocah
setan! Kemana lagi pergi” gumam salah satu keluarga Adit. Berjam-jam kemudian
tak satupun menemukannnya. Adzan maghrib menggema ke seluruh penjuru desa.
Semua sepakat mengakhiri pencarian.
Silir angin menelusup
melalui lobang-lobang semut. Kakinya bergetar hebat. Jari-jari kaki bergerak
mencekam dingin. Merasakan lelah dan salah. Di sudut gua dingin menusuk sampai
pangkal rusuk. Nyamuk-nyamuk mengamuk. Dengung sayapnya memekakan daun telinga.
Kepalanya menggeleng-geleng. Gigil yang hampir sama dengan yang pernah dirasa.
“Pulang nak sudah
malam” kata bapaknya menghampiri di dalam salah satu candi komplek candi
Arjuna. Tubuhnya mengigil, dingin, dan pucat. Dia tak berani keluar setelah
kejadian sore tadi. Mukanya diselipkan diantara kedua lutut. Rambut ikal
menutupi wajahnya. Seketika bapak meraih tangan dan menggendongnya. Perlahan
dan mengendap-endap memasuki desa. Mengintip dibalik tembok setiap rumah warga.
Mata mengawasi setiap setapak batu desa. “Mandilah nak, biyung sudah menyiapkan air panas” gumam bapak dengan mengelus
kepalanya.
***
“Keluarkan anakmu!
Jangan kau sembunyikan anak setan itu!” maki salah seorang warga. Tangannya
gemetar memegang engsel pintu. “Sembunyikan dia yung! Keluar dari pintu
belakang!” bisiknya. Dia mendengar caci maki warga desa. Gejolak mendera
hatinya. Tekanan yang tak hanya dia rasa, tapi juga keluarga.
“Dia belum pulang
semalaman, aku juga menunggunya” jawab lelaki tua.
“Bohong, pasti kau
sembunyikan anak setan itu! Ayo geledah” seru salah seorang yang membawa
parang. Biyung terbirit-birit menuruni setiap anak tangga. Sementara dia hanya
mencengkram erat kedua tangan di depan leher biyung.
Tubuhnya merasakan
getaran yang hebat. Gunjingan-gunjingan menggema dalam setiap sudut otak,
menyesak dalam setiap ruang hampa di hatinya. Mata belum juga terbuka. Keringat
bercucur deras. Dalam keadaan dingin sekalipun. Kabut menyeruak dari balik
bukit-bukit. Dia teringat ruwat. Membuat air matanya berlinang.
“Sudah penther, bangun hari ini ruwat” kata
bapak. Hari yang sulit. Dia harus memilih masyarakat desa atau keluarga.
Arak-arakan memenuhi jalan desa. Warga begitu antusias. Kadang dianggap dewa
kadang dianggap pembawa bencana. Dia punya teman gimbal lain bernama Reno. Dia
tidak pernah diizinkan keluar rumah oleh orang tuanya. Bersama dengan Reno dia
akan diruwat hari ini.
Perjalanan yang tak
jauh dari desa menuju komplek candi Arjuna. Sepanjang jalan penuh benci dan
caci untuknya. Tidak untuk Reno. Dua gimbal yang berbeda. Seharusnya tak ada
yang dibedakan. Dia tertunduk lesu. Batinnya begitu teriris. Tuhan tidak adil.
Dia ingin menangis. Ayahnya meredam setiap gejolak dalam dirinya.
“Anak setan! Bocah
sikak! Pembawa petaka!” makian orang dalam setiap sudut jalan. ”Terimakasih
Reno sudah mamakmurkan desa”. Kontras. Suasana semakin memanas. Air matanya tak
dapat dibendungnya. Dia berlari menjauh dari arak-arakan. “Minggat sana jangan kembali! Hahaha..”. Ruwatnya gagal. Gimbal
tetap melekat pada rambutnya. Kebencian semakin menjadi dalam dirinya. “Bunuh
saja anakmu yang tak berguna itu, hanya membawa sial!” kalimat yang tidak akan
dilupakannya.
***
Matahari merekah.
Sedikitpun tak ada cahaya yang masuk dalam gua. Masih sunyi. Masih beraura benci.
Waktunya tidak lama lagi untuknya kembali. Dari benci-benci sedikit terobati.
Cinta. Seketika suasana sedikit renggang. Nafasnya mulai teratur. Dalam sendu
dia sedikit lupa.
Wajar jika lelaki memendam
rasa terhadap perempuan. Ini yang dia rasakan terhadap Prana. Anak Kepala Desa.
Bisa dikatakan cinta monyet. Tak ada yang aneh. Hubungannya begitu baik dengan
Prana. Waktunya sering dihabiskan bersama Prana di tepi Telaga Warna. Suasana
sepi termakan setiap percakapan. Buih-buih keluar dari kawah dasar telaga.
Suasana dingin sedikit menghangat hinggap pada dua insan.
Seperti ada yang
meledak-ledak dalam dirinya seketika. Ingatanya tertuju pada cintanya.
“Hei! Apa yang kau
lakukan dengan anakku di sini? Celakalah! Bocah sikak! Jangan dekati anakku
lagi. Kau mau membuatnya seperti Adit? Prana pulanglah. Jangan kau main
dengannya lagi. Dia itu pembawa petaka. Cepat pulang ibumu sudah menunggu. Kau
Anto! Enyahlah, bocah sikak!”.
Kaki-kaki kabut
menelusup bibir gua. Dingin terasa seperti es. Suasana membeku dalam kebencian.
Namun otaknya masih bisa berpikir. Semua diingatnya. Termasuk dia adalah
titisan Kiai Kolodete, penganut kejawen. Rambut gimbal titipan Ratu Kidul
menurut mitos yang berkembang.
Embun mengkristal pada
daun-daun dan sayur mayur. Udara sejuk membelai burung-burung di sangkar untuk
berkicau. “Bangunlah, sudah pagi dan ambil air wudhu” kata lelaki tua padanya.
Air begitu dingin menjamah kulitnya. Agama sangat kuat mendasari hidupnya,
karena bapaknya merupakan salah satu pemuka agama di desa.
Ketegangan pikirannya
selalu terbentur dengan Tuhan. Keadilan Tuhan selalu ditanyakannya. Percik air
terus menggema di dinding gua. Sesekali jangkrik menggetarkan sayap. Banyak
kejadian pahit diingatnya.
“Usir saja dari desa!
Bawa anakmu pergi dari sini, menyusahkan” teriak seorang warga. “Maafkan kami”
kata lelaki tua yang mulai sakit-sakitan. Dia begitu khawatir kepadanya. Hari
silih bergati namun tidak ada perubahan, justru semakin menjadi hujatan-hujatan
warga sekitar. Wibawa bapaknya tetap tidak bisa menolongnya. Tangisnya semakin menjadi
kala senja semakin padam. Biyungnya hanya berdoa di dingklik pawon. Warga semakin ramai berada di halaman rumahnya.
Bersikeras memintanya pergi. “Ampunilah anak kami, siapa yang akan merawatnya
kelak jika dia pergi?” kata lelaki tua itu lirih. “Biarkan saja, matipun tak
akan jadi masalah bagi kami!” teriak salah satu keluarga Adit. “Mohon maaf pak,
anakmu sudah tidak bisa diterima di desa ini” kata kepala desa perlahan. “Dia
belum bisa untuk hidup sendiri, apa kalian tega?”. Bukan semakin mencair justru
suasana justru semakin memanas. “Beri kamu waktu untuk berpikir”. “Bagaimana
saudara? Kita beri anak itu waktu 24 jam dari sekarang, jika tidak terpaksa
kami yang akan membuangnya”.
***
Malam begitu mencekam.
Suasana sunyi sepi. Tak ada lagi tanda-tanda kehidupan. Kunang-kunang menerjang
gelap kabut di antara rindang pohon karika. “Malam ini aku harus pergi”.
Perlahan dia mengendap-endap pergi dari rumah melalui pintu belakang. Tanpa
bekal sedikitpun. Menjauh dari desa. Entah kemana kaki akan berpijak lagi.
Remang-ramang cahaya rembulan menerangi setiap setapak jalannya. Tanah-tanah
basah menjamah tapak kaki mungilnya. Hanya suara kodok menemani malam sepi.
Entah pikiran apa yang menggiringnya sampai pada suatu gua di dekat Telaga
Warna. Tanpa sadar dia memasukinya. Duduk di belakang sebuah batu besar.
***
Malam tepat Selasa
Kliwon. Purnama sempurna. Tepat di atas gunung Sindoro. Dia melangkah keluar
dari gua. Tanpa sehelai kain. Dia memutuskan mengakhiri persembunyian ataukah
pertapaannya? Delapan tahun berlalu. Tak ada orang yang mengetahui
keberadaannya. Banyak orang yang mengira bahwa gimbal sikak itu sudah mati di
Kawah Sikidang.
Dia menyempurnakannya
dengan mandi di Telaga Warna. Empat nafsu yang harus dikendalikan olehnya.
Lawwamah, amarah, sufiyah, dan mutamainah. Selanjutnya dia pergi ke Gua Jaran,
Gua Sumur, Kawah Sikidang, Kawah Sileri, Sumur Jolotundo, dan terakhir di Kawah
Condrodimuko. Ilmu kejawen didapatnya dari ritual tersebut.
Setiap setapak batu di
lewatinya. Banyak perubahan yang dilihat. Berbeda jauh dari terakhir dia
berjalan menuju gua dahulu. “Apa kabar Bapak dan Biyung?” gerutunya dalam hati
terdalam. Tubuhnya tak terawat. Rambut gimbalnya memanjang sampai pinggang.
“Masikah mereka hidup?” tanyanya dalam hati. Pikirannya sudah tidak karuan.
Mengingat semua kenyataan pahit dulu. Tentang kutukan dan caci maki. Tentang
keluarga yang dihina karena ulahnya. Tentang semuanya. Otaknya ruwet lagi. Seperti gimbalnya. Memanjang
tak karuan.
Tak terasa sampailah di
tugu desa. Peralahan dia melangkahkan kaki di geregal jalan yang masih sama. Tak ada manusia. Seperti biasa
suasana malam yang dingin, sunyi, dan mencekam, mencakar kulit sampai perih.
Diketuknya pintu rumah. Tak ada jawaban. Tak ada yang berbeda dari setiap sudut
rumah dan halamannya. Beberapa saat terdengar langkah dari dalam menuju pintu.
“Klek! Krekeet..” betapa kaget lelaki tua melihat seorang pemuda yang seperti
dikenalnya. Tangisnya meleleh, seketika dia peluk lelaki tua itu. “Anto?” tanya
lelaki tua itu menahan matanya berkaca-kaca. “Iya pak”. Suasana seketika leleh
dalam tangis dan bahagia. Permintaannya setelah itu adalah untuk ruwat.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar