Kamis, 26 Juni 2014

CONTOH KRITIK SASTRA PEREMPUAN JOGJA



A.    Latar Belakang
Bahasa dan manusia tidak akan pernah bisa dipisahkan. Banyak cara yang digunkan untuk menyampaikan sebuah gagasan, ide, informasi, pesan dll. Salah satu yang digunakan adalah melalui karya sastra, misalnya menggunakan karya sastra novel. Sastra tidak lahir dari kekosongan. Sastra adalah gambar kehidupan yang ada di sekitar kita karena sastra adalah cerminan masyarakat. Sastra adalah dunia kecil yang diciptakan oleh pengarang yang di dalamnya terdapat masalah-masalah kehidupan yang bersumber dari realitas sosial atau kehidupan lingkungan sosial yang ada di alam pikiran pengarang maupun yang dilihat oleh pengarang. Sastra pada dasarnya merupakan ciptaan, sebuah kreasi bukan semata-mata sebuah imitasi. Karya sastra sebagai bentuk dan hasil sebuah pekerjaan kreatif, pada hakikatnya adalah suatu media yang mendayagunakan bahasa untuk mengungkapkan tentang kehidupan manusia. Kemunculan sastra dilatar belakangi adanya dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan eksistensi dirinya.

Sebutan novel berasal dari Itali yaitu novella (yang dalam bahasa Jerman: novelle). Secara harfiah novella berarti “sebuah barang baru yang kecil”, dan kemudian diartikan sebagai “sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa”. Dewasa ini istilah novella dan novelle mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novelet, yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek (Nurgiyantoro, 2002: 9). Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2001: 788) novel adalah karangan yang panjang yang mengandung rangkaian cerita kehdupan seseorang dengan orang disekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku.
Belakangan ini banyak sekali mincul karya-karya sastra khususnya novel bernuansa “POP”. Achmad Munif sebagai penulis membuat novel yang bukan pop. Justru Achmad munif menuliskan fenomena-fenomena yang ada di masyarakat sekitarnya dan mengemas dengan apa adanya seperti yang ada pada realita masyarakat.
Pada makalah ini akan dibedah kritik salah satu novel karya Achmad Munif yang berjudul “Perempuan Jogja” dari berbagai sudut pandang. Novel ini merupakan novel yang sangat diminati oleh pembaca, karena di dalamnya terdapat seorang tokoh yang menggambarkan perempuan asli Yogyakrta. Novel ini yang terbit pada tahun 2006 ini menjadi salah satu novel yang mematahkan paradigma novel pop. Di dalam novel ini menceritakan tentang seorang perempuan asli jogja yang sangat patuh kepada suaminya, sampai-sampai iya rela untuk dimadu.
Dalam perkembangan zaman seperti saat sekarang, novel ini mungkin sudah sangat sulit untuk diterima. Kesetaraan gender akan mamatahkan setiap cerita yang ada di dalam novel ini. Permasalahan yang akan diangkat adalah tentang feminis. Perjuangan tokoh wanita yang ada di dalam novel.

B.     Sinopsis
Ramadan adalah mahasiswa semester akhir yang juga bekerja sebagai wartawan. Ramadhan adalah lelaki yang baik, cerdas, tahu banyak tentang sastra dan juga rendah hati. Ramadhan sangat mengagumi Rumanti yang telah mempunyai suami bernama RM. Danudirjo. Tetapi, kekagumannya itu hanya sebatas kagum karena Rumanti adalah perempuan yang cantik, baik, lemah lembut dan menyayangi suami serta kedua anaknya.
Ramadhan sempat mencintai teman satu kampus bernama Tyas, tetapi karena faktor kekayaan yang berbeda jauh akhirnya dia tidak mengungkapkan isi hatinya. Ramadhan hanya menganggap Tyas sbagai teman perempuannya saja. Beberapa bulan kemudian bertemu dengan perempuan bernama Raden Indri Astuti. Kecantikan indri membuat Ramadhan jatuh cinta, kali ini dia berusaha dan berjuang mendapatkan cinta Indri meskipun dia bebeda jauh dengan Ramadhan yang jauh lebih miskin daripada Indri.
Suatu saat Danu bertemu dengan mantan kekasihnya yang telah bererai dengan suaminya yang petama, karena masih cinta kepada Noma ahirnya Danu memutuskan untuk menikah lagi dengan persetujuan Rumanti. Merekapun akhirnya menikah, tetapi karena ingin menguasai harta Danu pernikahan itu berlangsung beberapa bulan saja, Norma dimasukan ke penjara setelah terbukti melakukan percobaan pembunuhan terhadap Danu.
Perjuangan Ramadhan untuk mendapatkan cinta Indri akhirnya tercapai, tetapi kakak indri tidak merstui hubungan mereka, Danu telah menjodohkan Indri dengan rekan kerjannya bernama RM. Suwito. Tetapi lambat laun Danu mengetahui bahwa mas Wit adalah lelaki yang jahat dan suka main perempuan sehingga Danu membatalkan perjodohannya. Danu akhirnya mneyetujui Ramadhan dan Indri berpacaran.

C.    Pembahasan
Karya sastra merupakan luapan spontan dari perasaan yang kuat dan tidak dipandang lagi sebagai refleksi tindak-tindak manusia. Selain itu merupakan cermin emosi yang dikumpulkan dalam keheningan mendalam, yang kemudian direbisi dalam penciptaan melalui pemikiran. Karya sastra yang bermutu adalah karya sastra yang mampu melukiskan kehidupan sedetail mungkin (Edraswara, 2006: 33-34).
Persoalan gender tak akan muncul apabila perbedaan berjalan selaras sehingga antara laki-laki dan perempuan dapat saling melengkapi dan menghargai. Persoalan timbul ketika ketimpangan yang terjadi dalam relasi gender telah melahirkan ketidakadilan terhadap perempuan. Implikasi lebih luas dari ketimpangan gender adalah perempuan banyak kehilangan hak dan kebebasannya dalam mengambil setiap keputusan baik itu yang menyangkut dirinya sendiri maupun masyarakat.
Dalam Women Studies Ensiklopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Pada aspek penokohan wanita, novel Perempuan Jogja berkisah tentang tiga perempuan yang mencoba untuk melepaskan diri dari belenggu keluarga dan lingkungan. Keteguhan tiga perempuan dengan latar belakang yang berbeda berhasil di uraikan A. Munif dengan jelas dan terperinci, bagaimana tiga perempuan dari Jogja tersebut menyelesaikan masalah dengan caranya masing-masing.
Perlawanan Rumanti berbeda dengan dua perempuan lainnya. Rumanti seorang istri yang harus merelakan suaminya menikah lagi, meskipun pada awalnya perkawinan mereka tanpa didasari oleh rasa cinta. Rumanti menunjukkan perlawanan dengan cara tidak melawan, dia hanya diam karena menyadari posisinya dari keluarga miskin dan telah diangkat derajatnya oleh suaminya yang merupakan seorang keturunan darah biru. Meskipun begitu Rumanti tetap yakin bahwa kebahagiaan dan keadilan akan tertuju padanya dengan sikap saling pengertian dalam perkawinan.
Namanya cinta tak ada kata paksaan dan harta seperti itulah yang di rasakan R.A. Indri Astuti yang berdarah biru keturunan ningrat. Cintanya pada seorang wartawan budaya yang jauh dari gelar ningrat harus ia perjuangkan dengan melawan sang kakak yang bersikeras menjodohkannya dengan seorang konglomerat. Indri Astuti percaya cinta tak membutuhkan harta atau tahta yang penting adalah ketulusan.
Terbelenggu dari kemiskinan, Itulah kehidupan yng harus di jalani Popi, perempuan muda yang masih duduk di bangku SMA. Ibunya selingkuh dengan laki-laki kaya karena tak tahan denagn kemiskinan yang telah bertahun-tahun menjerat keluarganya dan popi pun juga harus merasakan jatuh kedalam lembah hitam apalagi setelah penindasan dan pelecehan yang di lakukan pacarnya, membuat popi berontak melawan segala permasalahan di hidupnya, sampai akhirnya ai berhasil di selamatkan dan di angkat anak oleh keluarga ningrat.
Kajian tokoh lain yang mempunyai keterkaitan dengan tokoh perempuan di dalam novel Perempuan Jogja. Pada umumnya, karya sastra yang menampilkan tokoh wanita bisa dikaji dari segi feministik. Baik cerita rekaan, lakon, maupun sajak mungkin untuk diteliti dengan pendekatan feministik, asal ada tokoh wanita. Akan  mudah menggunakan pendekatan ini jika tokoh wanita itu dikaitkan dengan tokoh laki-laki. Tidaklah menjadi masalah peran sebagai tokoh utama atau tokoh protagonis, atau tokoh bawahan.
Penulis menggambarkan tokoh Rumanti sebagai perempuan yang lemah lembut, penurut, setia, gemar, dan pandai mengatur rumah tangga serta mau berusaha keras membahagiakan suaminya seperti pada kutipan: “Maka Mbak tidak bisa berbuat lain kecuali menjaga kesetiaan sampai kapanpun.” (Hlm.27)
Yang dilakukan oleh Rumanti hanya diam dan merestui dirinya dimadu oleh suaminya yang menikah dengan mantan kekasihnya. Jika dilihat dari Danu yang memiliki keterkaitan dengan tokoh Rumanti yang sedang diamati, tokoh Danu memang digambarkan seorang laki-laki yang masih mencintai mantan kekasihnya itu dan dia sempat mengalami stress atau gangguan kejiwaan akibat ditinggalkan oleh mantan kekasihnya itu hingga pada akhirnya dinikahi dengan Rumanti. Kesetiaannya tidak sama halnya dengan pengabdian dan kesetiaan Rumanti, digambarkan pada kutipan: “ia lupa dengan kesetiaan dan pengabdian Rumanti yang telah menyembuhkan luka-luka dihatinya.” (Hlm.34)

1.      Orientasi Perempuan Jogja
Berlandaskan pada empat orientasi untuk menilai sebuah karya sastra, menurut Abrams (via Pradopo, 2013: 94), ada empat orientasi dalam menilai sebuah karya sastra, yaitu orientasi mimetik, pragmatik, ekspresif, dan objektif. Dengan melihat keempat orientasi itu, bisa untuk mengkaji kekurangan dan kelebihan karya sastra. Isi yang terkandung di dalam novel  menceritakan bagaimana perjuangan seorang perempuan yang selalu tunduk dan patuh terhadap suaminya, sampai-sampai perempuan ini rela untuk dimadu. Ketika ditelisik lebih dalam novel ini bisa dikatakan novel yang ketinggalan zaman. Sudah banyak sekali novel yang mengangkat tentang ketidakadilan terhadap kaum perempuan. Novel-novel angkatan Balai Pustaka sudah mendahului jauh sebelum novel ini terbit, seperti Belenggu, Siti Nurbaya, Bekisar Merah, dan masih banyak novel-novel lain yang mengangkat tentang feminisme.
Untuk pembaca dan khususnya penikmat sastra, harus pintar-pintar untuk memilih sebuah bacaan karya sasta. Novel ini memiliki kelebihan tersendiri dibandingkan dengan novel-novel feminis yang lain. Penulis bisa menggambarkan dengan sangat jelas dan detail mengenai perempuan jogja. Konflik batin yang diangkat juga membuat pembaca bisa larung di dalamnya.
a.      Orientasi Mimetik
Orientasi mimetik memandang bahwa karya sastra merupakan sebuah tiruan, cerminan, ataupun representasi alam maupun kehidupan. Kriteria yang disematkan pada sebuah karya sastra adalah tentang sebuah kebenaran. Jika dipandang dari orientasi ini, pada tahun 2006 tradisi perempuan jogja sudah bergeser jauh. Hanya beberapa pasti yang masih memegang erat budaya ini. Penulis seharusnya bisa menelaah tentang kesetaraan gender, bagaimana kesetaraan gender sudah berkembang dengan pesat. Tidak ada lagi ketimpangan antara laki-laki dan perempuan, hak dan kewajibannya sama. Tradisi perempuan jogja sebagai perempuan yang selalu tunduk dan patuh terhadap suaminya sudah tidak relevan dengan zaman sekarang ini. Seharusnya pengarang bisa membuat tema yang sesuai dengan kehidupan manusia sekarang. Jika diperdalam, tujuan pengarang sangatlah baik. Bagaimana pengarang ingin mengingatkan tentang budaya perempuan joggja yang sudah mulai memudar.
b.      Orientasi Pragmatik
Orientasi pragmatik memandang bahwa karya sastra sebagai sarana untuk mencapai tujuan pada pembaca (tujuan keindahan, jenis emosi, ataupun pendidikan). Kriteria orientasi ini terletak pada nilai. Jika ditelaah menggunakan orientasi pragmatik, novel ini bisa dikatakan kurang sukses. Konflik-konflik yang ada di dalam novel sudah sangat biasa dan pasaran. Tetapi pengarang bisa membuat obat tersendiri dengan mengangkat salah satu kebudayaan daerah yang memang notabene itu bisa mewakili hampir seluruh perempuan di dunia. Ada batasan-batasan tersendiri bagi perempuan terhadap suaminya. Pesan-pesan yang terkandung di dalamnya menjadi bumbu yang nano-nano sehingga pembaca bisa mendapatkan berbagi macam pesan yang berbeda-beda di dalamnya. Hal ini sangat cocok apabila melihat seperti adanya degradasi moral pada manusia sekarang.
c.       Orientasi Ekspresif
Orientasi Ekspresif memandang bahwa karya sastra sebagai sebuah ekspresi, luapan, ucapan perasaan sebagai hasil dari imajinasi seorang pengarang, pikiran-pikiran, dan perasannya. Kriterianya terletak pada “pengarang”. Bersandar pada orientasi ekspresif novel ini juga bisa dikatakan berhasil dan sukses. Pengarang mampu mencitrakan Indonesia khususnya Yogyakarta dengan sangat detail. Ini menjadi nilai lebih tersendiri, bagaimana pengarang membedah salah satu daerah yang  ada di Indonesisa dan tidak melupakan budaya dan asalnya.
d.      Orientasi Objektif
Orientasi objektif memandang bahwa karya sastra sebagai sesuatu yang mandiri, otonom, bebas dari pengarang, pembaca, dan dunia sekelilingnya. Kriteria ini terletak pada “hubungan antarunsur yang membentuk karya sastra”. Apabila dilihat dari orientasi objektif, novel ini sangatlah tidak bisa dikatakan objektif. Karena masih banyak sekali pengaruh dari pengarang yang ada di dalam novel. Sebagai karya sastra yang saik seharusnya novel bisa menjadi salah bacaan sekaligus kitab bagi pembacanya. Penulis harus bisa menulis secara objektif dan harus mampu mengangkat keuniversalitasan supaya novel midah dibaca dan dipahami oleh siapapan, kapanpun, dan dimanapun, walaupun itu sudah lintas generasi.

2.      Gender dan Feminisme
            Dalam Women Studies Ensiklopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Sedangkan feminis adalah gerakan wanita yg menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria.
            Sejak dahulu karya sastra sudah menjadi culture regime dan memiliki daya pikat kuat terhadap persoalan gender. Paham tentang wanita sebagai orang lemah lembut, permata, bunga, dan sebaliknya pria sebagai orang yang cerdas, aktif, dan sejenisnya selalu mewarnai sebuah karya sastra. Sampai sekarang paham yang sangat sulit dihilangkan adalah hegemoni laki-laki terhadap perempuan. Hampir semua karya sastra yang dihasilkan pengarang mencitrakan laki-laki selalu lebih kuat dibandingkan dengan perempuan.
Citraan perempuan dalam sastra jawa sangat beragam, seperti dalam sastra Jawa kuno Wiracarita dan Kakawin. Perempuan adalah figur yang patut diperebutkan oleh laki-laki, terutama karena kecantika dan kebolehannya. Poin pentingnya adalah “perempuan harus setia pada laki-laki”.
             Pada novel Perempuan Jogja karya Achmad Munif banyak condong pada perempuan harus setia pada laki-laki dan tidak boleh mematahkan budaya tersebut. Salah satu tujuan dari pengarang adalah menyampaikan hal yang selama ini sudah hilang di dalam diri perempuan jogja melalui karyanya. Namun ketika novel ini dihubungkan dengan waktu sekarang, novel ini sulit untuk diterima karena kesetaraan gender. Kedudukan laki-laki dan perempuan sama, tidak ada ketimpangan dan perbedaan yang mencolok di dalam hak dan kewajibannya, keduanya sama.
            Banyak pesan yang terkandung di dalam novel ini yang layak untuk diserap dengan baik dan matang. Tidak bisa langsung menyerap pesan yang ada dengan mentah-mentah. Setidaknya sebagai perempuan pada zaman seperti sekarang ini tetap harus bisa ngajeni suaminya. Walaupun toh ada kesetaraan gender tetapi perempuan juga harus tahui tentang takdirnya. Pesan-pesan yang disampaikan pengarang melalui konflik batin tokoh utama. Hal ini sangat relevan dengan adanya konflik batin yang banyak dialami oleh perempuan pada zaman sekarang, walaupun tetap berbeda konflik batin yang dialami oleh tokoh utama dengan permpuan zaman sekarang.

3.      Perempuan Jogja Mematahkan Pradigma Novel “POP”
Novel pop atau novel populer adalah novel yang menampilkan kehidupan yang tidak intens, tidak meresapi kehidupan dan disajikan begitu saja atau apa adanya. Novel pop ada karena memenuhi selera pembaca dan bersifat selalu baru.
Berbicara mengenai populer, banyak sekali novel pada zaman sekarang ini yang mengusung tema-tema yang sedang ngetren. Selalu baru dan tidak mau ketinggalan untuk memenuhi keinginan dari pembaca. Sisi lain dari novel Perempuan Jogja adalah bagaimana pengarang menuliskan novelnya dengan mengusung tema perempuan yang sedang buming, namun dari tema tersebut pengarang mampu mematahkan pradigma novel pop. Pengarang mengemas novel tersebut berbeda dangan novel-novel populer. Di dalamnya pengarang menyimpang dari aliran novel pop, yang justru membuka pemandangan lain dari isi novelnya. Berbicara kebudayaan yang sudah banyak ditinggalkan oleh perempuan-perempuan zaman sekarnag ini.
Tidak bisa dipungkiri bahwa untuk memikat pembaca salah satu cara yang dilakukan adalah menyesuaikan permintaan pasar pembaca. Pengemasan bahasa dan konflik batin di dalam novel perempuan jogja banyak menggunakan bahasa-bahasa yang halus, mudah dipahami dan tidak banyak menggunakan istilah asing yang membingungkan.

4.      Konteks Sosial Pengarang
Novel Perempuan Jogja merupakan Novel karangan Achmad Munif. Analisis mengenai bagaimana pengaruh cara pengarang memperoleh penghasilan yakni sebagai sastra terhadap Novel Perempuan Jogja menyangkut latar belakang sosial budaya dan pandangan hidup pengarangnya.
Manusia sebagai makhluk sosial tidak terkecuali pengarang, tidak dapat hidup tanpa kontak social. Achmad munif juga mempunyai sebuah hidup sendiri yang didalamnya terdapat lingkungan alam dan budaya yang sangat dihayati. Achmad Munif dilahirkan di Jawa Timur, tumbuh dan dibesarkan dalam keluarga yang sederhana. Didikan orangtuannya yang diimbangi dengan kejujuran dan keuletan sehingga dia dapat melanjutkan kuliah dan bekerja sebagai seorang wartawan.
Achmad Munif selama menjadi mahasiswa aktif sebagai penulis produktif. Selain itu juga memasuki dunia jurnalistik, juga pernah menjadi penulis sekenario sinetron. Hobinnya sebagai penulis membuahkan hasil sebagai penulis yang terkemuka yang mempunyai ciri khas kedaerahan.
Karirya dibidang seni dimulai dari seni tulis. Waktu luangnya selalu dihabiskan untuk menulis baik artikel, cerpen, dan novelnya yang pernah dimuat dibeberapa media masa. Ajaran orangtuanya sejak kecil dan kehidupannya yang penuh dengan nilai-nilai dan aturan yang disiplin.
Achmad Munif dalam Novel Perempuan Jogja berbicara secara spesifik tentang kehidupan Perempuan Jogja berbicara secara spesifik tentang kehidupan Perempuan Jogja. Meskipun ada tokoh-tokoh dari luar yang dilahirkan, namun mereka malah digunakan untuk memperlihatkan pandangan masyarakat tentang kegiatan sehari-hari kehidupan Perempuan di Yogyakarta. Perempuan yang digambarkan adalah perempuan ynag sopan santun, tunduk pada peraturan suami, menghargai dan menghormati orang yang lebih tua, baik yang mengerti tentang tata karma. Hal tersebut dapat dilihat seperti pada tokoh Rukmanti yang penulis gambarkan pada Novel Perempuan Jogja karya Achmad Munif.

5.      Berdagang sastra
Jika melihat permintaan pasar dan pembaca, banyak sekali karya sastra yang saat ini sedang diburu. Entah sekedar mengikuti tren atau benar-benar ingin menikmati karya sastra. Perempuan Jogja awalnya dicetak pada tahun 2006, tetapi kembali dicetak lagi pada tahun 2012. Hal ini menunjukan bahwa permintaan pasar mengenai bacaan karya sastra sangat kurang ragamnya. Selain itu nilai plus tersendiri dari novel perempuan jogja adalah bagaimana Achmad Munif mengangkat tema perempuan yang berlatar di Yogyakarta. Novel ini banyak dicari sebenarnya bukan karena mengikuti perkembangan dan permintaan pasar karya sastra Indonesia, tetapi karena nilai-nilai dan cerita yang ada di dalamnya sangatlah menarik untuk dibaca. Mengangkat kebudayaan, dan bagaimana seorang wanita harus benar-benar menjadi seorang wanita yang tunduk dan patuh kepada suami. Jadi kenapa novel ini dicetak ulang mungkin karena isi yang terkandung di dalamnya memang benar-benar sangat menarik dan layak untuk dibaca.
Sebagai pembaca juga seharusnya harus bisa aktif, tidak hanya sebagai penikmat karya sastra saja. Aktif menjadi pengkritik karya sastra yang sudah dibacanya, tidak hanya hanyut dan larung terhadap alur dan cerita yang di kemas oleh pengarang. Kebanyakan pembaca hanya menerima mentah-mentah apa yang dibacanya tanpa pikir panjang, merasa bahwa novel yang dibaca cocok dengan dirinya sudah begitu tanpa melihat sudut pandang yang lain.

D.    Saran
Untuk menyempurnakan novel ini, sebaiknya pengarang harus bisa mempertimbangkan pembaca. Bagaimana setting tempat yang digunakan dan tema yang diangkat merupakan minoritas. Alangkah akan lebih baik ketika pengarang bisa membuat novel menjadi lebih objektif dan universal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TUGAS KELAS X BAHASA INDONESIA WAJIB (SMATAQ)

Dalam upaya untuk tetap melaksanakan kegiatan belajar mengajar di SMA Takhassus Al-Qur'an via daring, maka berikut tugas untuk kelas X b...