Membaca Puisi Widya Prana Rini
Esay
Apel Merah atau Apel Hijau?
Salam Sastra!
Puisi karya sastra yang
membingungkan, ataukah menyenangkan? Berbicara mengenai karya sastra khususnya
puisi, tentu banyak orang yang mengetahuinya. Hanya saja, dari kebanyakan orang
tersebut tahukah mereka tentang hakekat puisi yang sesungguhnya? Atau jangan-jangan
mereka hanya penikmat saja?
Puisi dapat dirumusakan
sebagai sebentuk pengucapan bahasa yang memeperhitungkan adanya aspek
bunyi-bunyi di dalamnya, yang mengungkapkan pengalaman imajinatif, emosional,
dan intelektual penyair yang ditimba dari kehidupan individual dan sosialnya
yang diungkapkan dengan teknik pilihan tertentu, sehingga puisi itu mampu
membangkitkan pengalaman tertentu pula dalam diri pembaca atau pendengarnya
(Suminto, 2010: 3-4).
Membaca puisi Widya,
jadi teringat pada pelukis dan penyair. Jika dibandingkan, perbedaan keduanya
sudah sangat mencolok. Pada hasil karya, serta alat dan bahan yang digunakan.
Pada karya pelukis, warna pada dasarnya bersifat netral. Namun ketika warna
sudah melekat pada kanvas, kemudian akan memiliki arti tersendiri. Pelukis dan
penikmatnya bisa menerjemahkan berbeda mengenai warna yang tertera, sesuai
dengan kebudayaan masing-masing. Sedangkan puisi adalah karya dari seorang penyair.
Bahasa, sebelum digunakan oleh penyair, bahasa merupakan sistem tanda yang
mempunyai arti tertentu yang secara konvensi disetujui dan harus diterima oleh
semua anggoya masyarakat. Jadi ketika warna digunakan oleh pelukis sebelumnya
belum memiliki makna (netral), sedangkan bahasa ketika digunakan oleh penyair
sebelumnya sudah memiliki makna yang disepakati oleh masyarakat luas.
Melihat latar belakang
Widya yang notabene adalah seorang pelukis sekaligus penyair, mungkin dia
sukses ketika menggabungkan keduanya dalam bentuk puisi maupun lukisan pada
sisi estetiknya. Ketika puisi dijadikan lukisan, maupun ketika lukisan
dijadikan sebuah puisi. Kemungkinan yang terbesar adalah bahwa Widya
menggunakan puisi sebagai imajinasi untuk membuat lukisan. Permasalahannya
sekarang, apakah ketika Widya mentransformasikan puisi pada lukisan ataupun
sebaliknya, makna yang terkandung di dalam karyanya tersampaikan kepada
pembacanya? Simak dan bacalah puisi-puisi berikut ini!
Kotak Yang Sepi
Kamu telah pulang
Kembali tidur di kamarmu sendiri
Dengan bantal dan kasurmu sendiri
Hanya peduli pada gulingmu sendiri
Dan mendekapnya rapat-rapat
Sampai cahaya mengetuk pintu dan jendela
Runtuh di tangan-tangan daun
Kelak, kapan lagi aku dengar kelakarmu
Tentang bunga yang tumbuh ditanah hitam
Dan kulit buah yang menjaga harumnya
Kapan lagi aku dengar suaramu
Memanggilku dan menceritakan tentang
kuasa hujan
Dan romantik bintang-bintang
Dalam gelap yang mengaburkan
Umbulharjo, 11-05-2014
Kamar Kosong
Katakanlah padaku siapakah Ia
Yang meletihkan
Dimalam yang lembut
Dan bulan bungkuk hingga penuh
Yang membisikan kata selamat malam
Melewati pintu-pintu yang jauh
Katakanlah padaku siapakah Ia
Yang wajahnya diraba cahaya
Merona emas kala fajar
Dan sejenak kulantunkan puji-pujian dan
doa
Hey siapakah Ia...
Perlahan gaung menurun disendal yang
terusap debu
Ketika kupanggil melalui celah senja,
membuka kamarmu
Tinggalah kesenyapan menjadi bajuku
31 Desember 2013
Kucucuk Yang Pengap Itu
Sejenak
akulah biduk memburai awan-gemawan
Atau
aku yang runduk turut berlayar
mendayung
di samudra kosakata
Atas
kefakiran, atas dahaga mengintip kelopak
Yang
asik menyisiri rambutnya dengan wewangian
Dan
membasuh wajahnya dengan embun
Dengan
mencandra keseharian dan memetakan jarak
Kukenali
sebilah pisau
Kuruncingi
bambu kecemasan dan kesedihan
Dari
hari ke hari, berulang-ulang, datang dan tenggelam
Umbulharjo, 8 Juni 2014
Keindahan
adalah sebuh aplikasi dari intresa
dan inscape. Intresa adalah pengaruh yang nyata dari tangan Tuhan
tehadap cipta kreatif seorang sastrawan, sedangkan inscape adalah pemahaman atau kekuatan melihat sesuatu dengan
pikiran dan hati sebagai suatu pundak realitas dalam sastra berdasarkan
kebenaran Tuhan. (Endraswara, 2013: 68). Ketika membaca puisi-puisi Widya,
banyak sekali ditemukan keindahan. Salah satunya keindahan pemilihan kata atau
diksi. Pengaruh Tuhan dan tentang kebenaran Tuhan dalam setiap ciptaan sangat
mempengaruhi karya-karyanya. Dalam penulisannya Widya berhasil membuat pembaca
terpikat dan terpesona dengan sajak-sajaknya. Semisal dalam salah satu cuplikan
baris berikut ini.
Sampai cahaya mengetuk pintu dan
jendela
Runtuh di tangan-tangan daun
Dalam
kutipan sajak tersebut bagaimana Widya sebagai penyair menggunkan bahasa dan
diksi yang indah //sampai cahaya mengetuk
pintu dan jendela/runtuh di tanngan-tangan daun//. Dalam kutipan itu
bagaimana si penyair membuat benda yang mati seolah hidup, tidak mungkin jika
cahaya mengetuk pintu dan jendela. Hanya makhluk hiduplah yang bisa melakukan
hal tersebut. Kemudian bagaimana penyair mendramatisir cahaya itu runtuh dari
langit dan langsung jatuh pada daun-daun. Jika menggunakan imajinasi, hal ini
bisa menjadi sangat indah.
Perhatikan
lagi kutipan puisi yang kedua berikut ini.
Dan bulan bungkuk hingga penuh
Yang membisikan kata selamat malam
Bacalah dengan seksama,
//Dan bulan bungkuk hingga penuh/Yang
membisikan kata selamat malam//. Penyair menggambarkan bulan yang bungkuk,
bukankan juga ini merupakan suatu kegiatan yang hanya bisa dilakukan oleh
manusia. Selanjutnya bulan yang membisikan selamat malam.
Kutipan puisi ketiga
Kukenali
sebilah pisau
Kuruncingi bambu kecemasan dan
kesedihan
Cermati lagi penggalan
puisi ketiga, // Kukenali sebilah pisau/Kuruncingi
bambu kecemasan dan kesedihan//. Aku lirik sebagai manusia, karena bisa
mengenali sebuah pisau. Kemudian selanjutnya yang membuat kutipan sajak aku
indah bagaimana si aku lirik meruncingi kecemasan dan kepedihan. Bisa jadi yang
dimaksudkan adalah tentang kecemasan dan kesedihan yang semakin mendalam.
Di dalam bukunya, Teeuw
mengatakan bahwa ilmu sastra dikatakan sebagai ilmu seni atau estetik. Dengan
kata lain, ilmu sastra juga ilmu yang mempelajari tentang seni dan keindahan. Puisi
bisa dikatakan sebagai salah satu karya sastra yang memiliki seni bahasa. Di
sinilah Widya sukses untuk memikat pembacanya. Dia menciptakan diksi-diksi yang
indah untuk menunjang puisi-puisinya.
***
Benar sekali jika
sebuah karya sastra merupakan sebuah seni yang memiliki keindahan khususnya
puisi. Kebermaknaan puisi secara keseluruhan juga bergantung pada bahasa yang
digunakan oleh penyairnya. Melalui diksi, majas, dan ketepataan penggunaan
bahasa yang mungkin sederhana tetapi bisa dikemas dalam bentuk yang lain. Dalam
keterbacaannya puisi yang diusung oleh Widya belum bisa menembus batas
ketercapaiaan makna pembaca secara keseluruhan. Mungkin baru beberapa atau
bahkan sebaliknya. Pada puisi pertama Widya mampu mengemas puisi dengan baik,
penggunaan bahasa yang sederhana dan tidak terlalu sulit memudahklan pembaca
untuk menangkap pesan secara keseluruhan yang ingin disampaikan.
Pada puisi kedua, ada
beberapa ganjalan dalam pembacaan yang kemudian membuat pembaca susah untuk
mengartikan makna secara keseluruhan. Seperti pada bait berikut ini.
Perlahan gaung menurun disendal
yang terusap debu
Ketika kupanggil melalui celah
senja, membuka kamarmu
Jika diperhatikan
dengan seksama, bagaimana Widya terlalu memaksakan pembacanya untuk sampai pada
apa yang diinginkannya melalui sajak ini, //Perlahan
gaung menurun disendal yang terusap debu//. Dia terlalu memaksakan pembaca
untuk mendengarkan sebuah gaung (suara) yang kemudian turun pada sendal, kemudian harus terusap debu.
Pembaca sangat berat untuk memaknai kutipan baris ini. Mungkin pada baris ini
dia gagal untuk mengajak pembaca mengartikannya.
Perhatikan kutipan dua baris sajak
berikut.
Sejenak
akulah biduk memburai awan-gemawan
Yang
asik menyisiri rambutnya dengan wewangian
Widya mencoba membuka
puisi dengan suatu kata yang indah. Tapi justru dari keindahan ini dia gagal
untuk mengajak pembaca memaknai baris pertama ini. //Sejenak akulah biduk memburai awan-gemawan//, lagi-lagi Widya
terlalu memakasa pembaca untuk memikirkan sebuah kosakata yang cukup berat bagi
pembaca awam. Selanjutnya, //Yang asik
menyisiri rambutnya dengan wewangian// pada bait ini pembaca dibuatnya
bingung. Menyisiri rambutnya dengan wangian, ataukah menyisiri rambutnya dengan
sisir? Jika ini merupakan simbol dia sukses. Tetapi kembali lagi. Ketercapaian
pesan dan makna tidak hanya pada satu atau dua baris saja, tetapi secara
keseluruhan. Dia terlalu memaksa pembaca untuk membayangkan orang menyisir
rambut menggunakan wewangian. Seharusnya yang digunakan untuk menyisir rambut
adalah sisir.
***
Jadi kesimpulannya
adalah, bahwa karya sastra juga merupakan karya seni. Tetapi tidak semua karya
sastra bisa diungkapkan dengan bahasa-bahasa yang indah dan berat, khususnya
puisi. Menggunakan bahasa yang sederhana tetapi bisa mengemasnya dalam bentuk
bahasa yang jarang dipakai oleh orang lain akan membuat puisi tersebut menjadi
indah dan baik, serta ketercapaian penyampaian pesan kepada pembaca akan lebih
mudah. Karena bahasa dari awal sudah memiliki makna yang disepakati bersama
oleh masyarakat luas. Berbeda dengan karya seni lukis. Yang menggunakan banyak
warna, dan setiap warna tersebut setiap orang bisa bebas untuk mengartikannya
karena dari awal warna merupakan sesuatu yang netral. Keindahan seni lukis yang
pertama memang mementingkan keindahan (estetik) kemudian berlanjut pada pesan
atau makna yang ingin disampaikan. Karena awal mula seseorang melihat seni
lukis adalh tentang keindahan wujud. Berbeda dengan puisi, puisi selain
keindahan bahasa juga harus mementingkan pesan dan makna yang ingin
disampaikan. Keduanya harus dalam kesejajaran. So, Apel merah atau Apel hijau? Hampir mirip memang, tetapi pasti
memiliki perbedaan.
Salam sastra.
Jejak Imaji, 15 Juni 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar