Senin, 23 Juni 2014

Esay Apel Merah atau Apel Hijau?



Membaca Puisi Widya Prana Rini
Esay Apel Merah atau Apel Hijau?

Salam Sastra!
Puisi karya sastra yang membingungkan, ataukah menyenangkan? Berbicara mengenai karya sastra khususnya puisi, tentu banyak orang yang mengetahuinya. Hanya saja, dari kebanyakan orang tersebut tahukah mereka tentang hakekat puisi yang sesungguhnya? Atau jangan-jangan mereka hanya penikmat saja?
Puisi dapat dirumusakan sebagai sebentuk pengucapan bahasa yang memeperhitungkan adanya aspek bunyi-bunyi di dalamnya, yang mengungkapkan pengalaman imajinatif, emosional, dan intelektual penyair yang ditimba dari kehidupan individual dan sosialnya yang diungkapkan dengan teknik pilihan tertentu, sehingga puisi itu mampu membangkitkan pengalaman tertentu pula dalam diri pembaca atau pendengarnya (Suminto, 2010: 3-4).

Membaca puisi Widya, jadi teringat pada pelukis dan penyair. Jika dibandingkan, perbedaan keduanya sudah sangat mencolok. Pada hasil karya, serta alat dan bahan yang digunakan. Pada karya pelukis, warna pada dasarnya bersifat netral. Namun ketika warna sudah melekat pada kanvas, kemudian akan memiliki arti tersendiri. Pelukis dan penikmatnya bisa menerjemahkan berbeda mengenai warna yang tertera, sesuai dengan kebudayaan masing-masing. Sedangkan puisi adalah karya dari seorang penyair. Bahasa, sebelum digunakan oleh penyair, bahasa merupakan sistem tanda yang mempunyai arti tertentu yang secara konvensi disetujui dan harus diterima oleh semua anggoya masyarakat. Jadi ketika warna digunakan oleh pelukis sebelumnya belum memiliki makna (netral), sedangkan bahasa ketika digunakan oleh penyair sebelumnya sudah memiliki makna yang disepakati oleh masyarakat luas.
Melihat latar belakang Widya yang notabene adalah seorang pelukis sekaligus penyair, mungkin dia sukses ketika menggabungkan keduanya dalam bentuk puisi maupun lukisan pada sisi estetiknya. Ketika puisi dijadikan lukisan, maupun ketika lukisan dijadikan sebuah puisi. Kemungkinan yang terbesar adalah bahwa Widya menggunakan puisi sebagai imajinasi untuk membuat lukisan. Permasalahannya sekarang, apakah ketika Widya mentransformasikan puisi pada lukisan ataupun sebaliknya, makna yang terkandung di dalam karyanya tersampaikan kepada pembacanya? Simak dan bacalah puisi-puisi berikut ini!

Kotak Yang Sepi
Kamu telah pulang
Kembali tidur di kamarmu sendiri
Dengan bantal dan kasurmu sendiri
Hanya peduli pada gulingmu sendiri
Dan mendekapnya rapat-rapat
Sampai cahaya mengetuk pintu dan jendela
Runtuh di tangan-tangan daun
Kelak, kapan lagi aku dengar kelakarmu
Tentang bunga yang tumbuh ditanah hitam
Dan kulit buah yang menjaga harumnya
Kapan lagi aku dengar suaramu
Memanggilku dan menceritakan tentang kuasa hujan
Dan romantik bintang-bintang
Dalam gelap yang mengaburkan
Umbulharjo, 11-05-2014

Kamar Kosong
Katakanlah padaku siapakah Ia
Yang meletihkan
Dimalam yang lembut
Dan bulan bungkuk hingga penuh
Yang membisikan kata selamat malam
Melewati pintu-pintu yang jauh

Katakanlah padaku siapakah Ia
Yang wajahnya diraba cahaya
Merona emas kala fajar
Dan sejenak kulantunkan puji-pujian dan doa

Hey siapakah Ia...

Perlahan gaung menurun disendal yang terusap debu
Ketika kupanggil melalui celah senja, membuka kamarmu
Tinggalah kesenyapan menjadi bajuku
31 Desember 2013

Kucucuk Yang Pengap Itu
Sejenak akulah biduk memburai awan-gemawan
Atau aku yang runduk turut berlayar
mendayung di samudra kosakata
Atas kefakiran, atas dahaga mengintip kelopak
Yang asik menyisiri rambutnya dengan wewangian
Dan membasuh wajahnya dengan embun
Dengan mencandra keseharian dan memetakan jarak
Kukenali sebilah pisau
Kuruncingi bambu kecemasan dan kesedihan
Dari hari ke hari, berulang-ulang, datang dan tenggelam
Umbulharjo, 8 Juni 2014

            Keindahan adalah sebuh aplikasi dari intresa dan inscape. Intresa  adalah pengaruh yang nyata dari tangan Tuhan tehadap cipta kreatif seorang sastrawan, sedangkan inscape adalah pemahaman atau kekuatan melihat sesuatu dengan pikiran dan hati sebagai suatu pundak realitas dalam sastra berdasarkan kebenaran Tuhan. (Endraswara, 2013: 68). Ketika membaca puisi-puisi Widya, banyak sekali ditemukan keindahan. Salah satunya keindahan pemilihan kata atau diksi. Pengaruh Tuhan dan tentang kebenaran Tuhan dalam setiap ciptaan sangat mempengaruhi karya-karyanya. Dalam penulisannya Widya berhasil membuat pembaca terpikat dan terpesona dengan sajak-sajaknya. Semisal dalam salah satu cuplikan baris berikut ini.
Sampai cahaya mengetuk pintu dan jendela
Runtuh di tangan-tangan daun
            Dalam kutipan sajak tersebut bagaimana Widya sebagai penyair menggunkan bahasa dan diksi yang indah //sampai cahaya mengetuk pintu dan jendela/runtuh di tanngan-tangan daun//. Dalam kutipan itu bagaimana si penyair membuat benda yang mati seolah hidup, tidak mungkin jika cahaya mengetuk pintu dan jendela. Hanya makhluk hiduplah yang bisa melakukan hal tersebut. Kemudian bagaimana penyair mendramatisir cahaya itu runtuh dari langit dan langsung jatuh pada daun-daun. Jika menggunakan imajinasi, hal ini bisa menjadi sangat indah.
            Perhatikan lagi kutipan puisi yang kedua berikut ini.
Dan bulan bungkuk hingga penuh
Yang membisikan kata selamat malam
Bacalah dengan seksama, //Dan bulan bungkuk hingga penuh/Yang membisikan kata selamat malam//. Penyair menggambarkan bulan yang bungkuk, bukankan juga ini merupakan suatu kegiatan yang hanya bisa dilakukan oleh manusia. Selanjutnya bulan yang membisikan selamat malam.
Kutipan puisi ketiga
Kukenali sebilah pisau
Kuruncingi bambu kecemasan dan kesedihan
Cermati lagi penggalan puisi ketiga, // Kukenali sebilah pisau/Kuruncingi bambu kecemasan dan kesedihan//. Aku lirik sebagai manusia, karena bisa mengenali sebuah pisau. Kemudian selanjutnya yang membuat kutipan sajak aku indah bagaimana si aku lirik meruncingi kecemasan dan kepedihan. Bisa jadi yang dimaksudkan adalah tentang kecemasan dan kesedihan yang semakin mendalam.
Di dalam bukunya, Teeuw mengatakan bahwa ilmu sastra dikatakan sebagai ilmu seni atau estetik. Dengan kata lain, ilmu sastra juga ilmu yang mempelajari tentang seni dan keindahan. Puisi bisa dikatakan sebagai salah satu karya sastra yang memiliki seni bahasa. Di sinilah Widya sukses untuk memikat pembacanya. Dia menciptakan diksi-diksi yang indah untuk menunjang puisi-puisinya.
***
Benar sekali jika sebuah karya sastra merupakan sebuah seni yang memiliki keindahan khususnya puisi. Kebermaknaan puisi secara keseluruhan juga bergantung pada bahasa yang digunakan oleh penyairnya. Melalui diksi, majas, dan ketepataan penggunaan bahasa yang mungkin sederhana tetapi bisa dikemas dalam bentuk yang lain. Dalam keterbacaannya puisi yang diusung oleh Widya belum bisa menembus batas ketercapaiaan makna pembaca secara keseluruhan. Mungkin baru beberapa atau bahkan sebaliknya. Pada puisi pertama Widya mampu mengemas puisi dengan baik, penggunaan bahasa yang sederhana dan tidak terlalu sulit memudahklan pembaca untuk menangkap pesan secara keseluruhan yang ingin disampaikan.
Pada puisi kedua, ada beberapa ganjalan dalam pembacaan yang kemudian membuat pembaca susah untuk mengartikan makna secara keseluruhan. Seperti pada bait berikut ini.
Perlahan gaung menurun disendal yang terusap debu
Ketika kupanggil melalui celah senja, membuka kamarmu
Jika diperhatikan dengan seksama, bagaimana Widya terlalu memaksakan pembacanya untuk sampai pada apa yang diinginkannya melalui sajak ini, //Perlahan gaung menurun disendal yang terusap debu//. Dia terlalu memaksakan pembaca untuk mendengarkan sebuah gaung (suara) yang kemudian turun pada sendal, kemudian harus terusap debu. Pembaca sangat berat untuk memaknai kutipan baris ini. Mungkin pada baris ini dia gagal untuk mengajak pembaca mengartikannya.
Perhatikan kutipan dua baris sajak berikut.
Sejenak akulah biduk memburai awan-gemawan
Yang asik menyisiri rambutnya dengan wewangian
Widya mencoba membuka puisi dengan suatu kata yang indah. Tapi justru dari keindahan ini dia gagal untuk mengajak pembaca memaknai baris pertama ini. //Sejenak akulah biduk memburai awan-gemawan//, lagi-lagi Widya terlalu memakasa pembaca untuk memikirkan sebuah kosakata yang cukup berat bagi pembaca awam. Selanjutnya, //Yang asik menyisiri rambutnya dengan wewangian// pada bait ini pembaca dibuatnya bingung. Menyisiri rambutnya dengan wangian, ataukah menyisiri rambutnya dengan sisir? Jika ini merupakan simbol dia sukses. Tetapi kembali lagi. Ketercapaian pesan dan makna tidak hanya pada satu atau dua baris saja, tetapi secara keseluruhan. Dia terlalu memaksa pembaca untuk membayangkan orang menyisir rambut menggunakan wewangian. Seharusnya yang digunakan untuk menyisir rambut adalah sisir.
***
Jadi kesimpulannya adalah, bahwa karya sastra juga merupakan karya seni. Tetapi tidak semua karya sastra bisa diungkapkan dengan bahasa-bahasa yang indah dan berat, khususnya puisi. Menggunakan bahasa yang sederhana tetapi bisa mengemasnya dalam bentuk bahasa yang jarang dipakai oleh orang lain akan membuat puisi tersebut menjadi indah dan baik, serta ketercapaian penyampaian pesan kepada pembaca akan lebih mudah. Karena bahasa dari awal sudah memiliki makna yang disepakati bersama oleh masyarakat luas. Berbeda dengan karya seni lukis. Yang menggunakan banyak warna, dan setiap warna tersebut setiap orang bisa bebas untuk mengartikannya karena dari awal warna merupakan sesuatu yang netral. Keindahan seni lukis yang pertama memang mementingkan keindahan (estetik) kemudian berlanjut pada pesan atau makna yang ingin disampaikan. Karena awal mula seseorang melihat seni lukis adalh tentang keindahan wujud. Berbeda dengan puisi, puisi selain keindahan bahasa juga harus mementingkan pesan dan makna yang ingin disampaikan. Keduanya harus dalam kesejajaran. So, Apel merah atau Apel hijau? Hampir mirip memang, tetapi pasti memiliki perbedaan.

Salam sastra.
Jejak Imaji, 15 Juni 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TUGAS KELAS X BAHASA INDONESIA WAJIB (SMATAQ)

Dalam upaya untuk tetap melaksanakan kegiatan belajar mengajar di SMA Takhassus Al-Qur'an via daring, maka berikut tugas untuk kelas X b...