Kemarin, malam mulai
mengintip pada kaki-kaki langit. Senja yang ranum mempertemukanku dengan sosok
lelaki tua. Dengan sepeda jengki hitam
dan topi koboi yang hitam pula tentunya. Dia mengelilingi yogya sejak berpuluh
tahun lalu, menjajakan keahlian sol sepatu kepada siapa saja. Tidak terkecuali denganku.
Sebelum itu, aku
melihat ujung belakang sepeda yang berisikan tas hitam, isinya perlengkapan sol
sepatu dan minuman, mungkin. Begitu goyah pijakan kaki pada pedal sepeda tuanya. Begitu pelan, ya
karena memang usianya sudah tidak muda.
“Pak sol sepatu, ikuti
ya pak. Cuma di dekat situ”. Dia hanya tersenyum. Senyum simpulnya, menggores
palung hatiku. Bagaimana mungkin, usianya sudah 89 tahun. Tetapi dia masih kuat
untuk mengayuh sepeda, dengan jarak yang memang jauh jika aku mendengar
ceritanya.
“Pak, sudah berapa lama
menjalani pekerjaan ini?” kataku.
“Sejak tahun ’49 mas”
jawabnya pelan sambil mengelem sepatuku yang sudah menganga. Seketika pikiranku
buyar, hampir 65 tahun dia menekuni pekerjaannya tersebut.
“Apa tidak ada
pekerjaan lain pak dulu, selain menjadi tukang sol sepatu keliling?”
“Ada mas, dulu bekerja
di pemerintahan kota, namun karena gaji yang sedikit kemudian saya keluar dan
memilih menjadi tukang sol sepatu yang lebih menjanjikan. Itu juga dulu
kesalahan saya karena kurang bersyukur dengan apa yang sudah diberikan oleh
Yang Kuasa. Hidup itu jika menuntut nafsu tidak akan pernah ada habisnya. Berapapun
yang diterima, jika kita bersyukur pasti akan selalu cukup.” Katanya dengan tak
henti mulai menjahit sepatuku.
“Iya juga pak memang
benar.” Aku sudah bingung mau berkata apa. Hampir separuh hidupnya dia habiskan
untuk menekuni pekerjaannya.
“Kadang orang yang
mengangap mencari pekerjaan itu susah, hanya orang yang malas dan selalu
berpikir bahwa rezeki yang diterimanya itu sedikit. Kalau saya sih berapapun
yang saya dapatkan ya disyukuri saja. Kenyataannya dengan pekerjaan ini saya
masih tetap bisa membesarkan empat anakku, yang sekarang anak-anakku bahkan
sudah memiliki cucu.”
Dag, dig, dug.
Runtuhlah air mata senja.
Yogyakarta, 19 Agustus 2014
Jejak Imaji
Tidak ada komentar:
Posting Komentar