Iqbal H. Saputra adalah nama pena
Iqbal Saputra; lahir di Belitung, 8 November 1989. Anak kedua dari pasangan
Herlina-Iskandar ini adalah alumnus PBSI UAD Yogyakrta. Saat ini sedang
menempuh Pascasarjana di UGM. Dengan dua sahabatnya, Fitri Merawati dan Latief
S. Nugraha meluncurkan buku kumpulan puisi bersama, “sungaisungai, muaramuara,
pesisirpesisir” (Pustaka Pelajar, 2012).
Riwayat pendidikannya ia tempuh di
kampung halamannya Belitung, Taman Kanak-kanak di TK Binawarga Belitung, SD N
48 Tanjungpandan Belitung, SMP N 5 Tanjungpandan Belitung, SMK N 2
Tanjungpandan Belitung hanya tiga bulan kemudian ia lanjutkan ke SMA N 2 Jambi
sampai selesai. Ia memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di Yogyakarta, S1
ia tempuh di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, kemudian sekarang ia sedang
melanjutkan pendidikan S2nya di Universitas Gadjah Mada.
Proses
kreatif ia awali ketika masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, awalnya
hanya menulis puisi yang belum bisa disebut puisi karena masih sebatas menulis
sesuai dengan yang dirasakannya.
Puisi yang ia tulis dahulu berdasarkan keadaan emosional yang ia alami, hanya pena dan kertas yang mengerti perasaanya saat itu. Kondisi keluarga yang rumit justru membuatnya semakin sering menulis pada catatan-catatan harian, karena ia merasa bingung pada siapa lagi harus bercerita tantang masalah yang dialaminya. Masa sekolah menengah akhir adalah tahap keduanya dalam berkarya, mulai banyak membaca buku-buku puisi karya penyair besar seperti Chairil Anwar dan Rendra. Karya Chairil anwar yang paling ia suka adalah “Senja Pelabuhan di Kecil. Kesenangannya membuat puisi banyak dimanfaatkan oleh teman-temannya yang sedang jatuh cinta. Ia sering mendapatkan rewarddari temannya karena telah membuatkan puisi untuk temannya, biasanya makan gratis karena temannya sudah pacaran dengan orang yang disukainya.
Puisi yang ia tulis dahulu berdasarkan keadaan emosional yang ia alami, hanya pena dan kertas yang mengerti perasaanya saat itu. Kondisi keluarga yang rumit justru membuatnya semakin sering menulis pada catatan-catatan harian, karena ia merasa bingung pada siapa lagi harus bercerita tantang masalah yang dialaminya. Masa sekolah menengah akhir adalah tahap keduanya dalam berkarya, mulai banyak membaca buku-buku puisi karya penyair besar seperti Chairil Anwar dan Rendra. Karya Chairil anwar yang paling ia suka adalah “Senja Pelabuhan di Kecil. Kesenangannya membuat puisi banyak dimanfaatkan oleh teman-temannya yang sedang jatuh cinta. Ia sering mendapatkan rewarddari temannya karena telah membuatkan puisi untuk temannya, biasanya makan gratis karena temannya sudah pacaran dengan orang yang disukainya.
Menulis
puisi secara hakiki baru ia lakukan ketika menempuh pendidikan di Universitas Ahmad Dahlan. Drs. Jabrohim, Rina
S.S, Abdul Wachid B.S adalah dosen UAD dan penyair yang membimbingya dalam
berproses kreatif. Awalnya ia merasa terpaksa dan terbebani untuk membuat
sebuah puisi. Pernah ia mendapat komentar dari dosennya Abdul Wachid B.S. untuk
puisinya, ia merasa puisinya sudah baik dan indah, tapi dosennya mengatakan bahwa
puisinya “gelap”karena belum bisa
menunjukan logika.Hal ini semakin membuatnya terpacu untuk menulis puisi,
menurutnya itu merupakan cambuk baginya untuk berbuat lebih dari sebelumnya. Ia
merasa senang dekat dan nurut dengan
Drs. Jabrohim yang sering memintanya untuk melakukan banyak hal tentang sastra,
seperti diskusi sastra. Hal ini membuatnya mengerti banyak hal mengenai sastra,
ia banyak mengenal sastrawan-sastrawan besar dan mendapatkan banyak ilmu dari
apa yang sudah dilakukanya karena bimbingan dan arahan Drs. Jabrohim. Sementara
itu bimbingan dan arahan dosennya Rina Ratih S.S adalah dibuatnya buku kumpulan
puisi yang berjudul “sungaisungai,
muaramuara, pesisirpesisir”bersama dua orang sahabatnya Fitri Merawati dan
Latief S. Nugraha.
Puisi-pusi
yang ia ciptakan banyak terpengaruh dari Chairil Anwar dan Rendra. Chairil Anwar
sangat mempengaruhi puisinya dalam kontek teks, sedangkan proses kreaatif
Rendra menjadi acuannya dalam menulis puisi. Selain itu ia mendapatkan suntikan
spirit dan pola pikir dari rekannya Mahwi Air Tawar dan Joni Aridinata. Cara
kedua temannya dalam menghakimi karya sastranya telah membentuk pribadi yang
memiliki mental tahan banting, karena puisi-puisi yang ia buat telah dikritik
habis-habisan oleh temannya itu. Dari berbagai macam pengalaman yang ia dapat
membuatnya menjadi penyair yang lebih baik dari sebelumnya, beberapa karyanya
pernah dimuat dalam media masa seperti di koran Merapi, majalah Mayara, dan
menjadi juara di STAIN Purwokerto. Selain itu puisi-pusinya juga banyak masuk
dalam buku antalogi puisi.
Membaca
dan menulis adalah ujung tombaknya dalam berkarya, “lelah membaca, menulislah,
lelah menulis, membacalah, begitu seterusnya jangan pernah berhenti”itulah
prinsipnya dalam berproses kreatif. Proses Kreatif menurutnya adalah proses
(aktivitas) dan kreatif (tingkah laku), jadi proses kreatif adalah pergulatan aktivitas
tingkah laku manusia yang dilakukan untuk bereksistensi dalam kehidupan
masyarakat. Sarana untuk mengabdi pada masyarakat, lingkungan, dan kehidupan
sebagai hamba yang berasal dari hati nurani dalam wujud tulisan. Apa yang ditulis
merupakan kebutuhan (eksis) dan refleksi penyair di dalam masyarakat untuk
menyuarakan apa yang terjadi di dalam masyarakat itu sendiri. Pendapat penyair
besar Sutardji Calzoum Bachri ia jadikan sebagai salah satu pedoman dalam
berkarya, bahwa menulis itu dari alam untuk kita kemudian kembali ke alam
melalui sebuah tulisan. Sebagai hamba di bumi semuanya hanya titipan dari
Tuhan, apa yang ditulis apa yang dibuat oleh manusia hanyalah meminjam dan
memindahkan yang telah ada dari Tuhan.
Proses
menjadi seorang penulis memerlukan banyak waktu, kesadaran diri dan dorongan
dari lingkungan masyarakat sekitar akan sangat membantu perkembangan penulis.
Hal ini yang telah membuat Iqbal Saputra menjadi seorang penyair yang sudah
cukup diakui di dunia sastra, walaupun belum bisa dikatakan dalam lingkup
nasional. Menurutnya untuk menjadi seorang penyair yang hebat atau “pendekar” dalam dunia sastra perlu
banyak belajar, membaca, dan menulis. Hal iniliah yang sudah dijalaninya selama
beberapa tahun terakhir ini. Proses pembuatan karya sastra tidak bisa dibuat
secara instan, proses melihat, mencermati, menulis, membuang dan menambah kata
semua dilakukan secara berulang-ulang untuk mendapatkan sebuah karya yang baik.
Selain itu bersosialisasi dengan masyarakat sekitar dan menjadi seorang yang
individualis akan membentuk karakter seorang penyair. Ada kalanya sebagai
penyair harus bersosialisasi dengan masyarakat sekitar untuk mendapatkan
ide-ide atau gagasan untuk membuat karya sastra, ada kalanya juga seorang
penyair harus memiliki jiwa individualis untuk menentukan jalan mana yang akan
diambilnya dalam membuat karya sastra dan menjadi seorang sastrawan.
Pengalaman-pengalaman
hidup telah mengajarkan Iqbal Saputra menjadi sosok yang cukup disegani di UAD
dan daerah Yogyakarta, istiqomah dan sabar menjadi kunci suksesnya dalam proses
kreatif. Ia banyak sekali mendapatkan manfaat dari menulis, tapi hal yang
paling membuatnya senang adalah saat karyanya bisa diakui oleh banyak orang dan
secara tidak langsung namanya juga akan terdongkrak naik. Semua itu karena doa
dan usaha yang dilakukannya secara terus menerus selama ini, berkat dorongan
orang tua, dosen, teman-teman, dan semua pihak yang telah membantu dan
mendukungnya hingga saat sekarang ini. Banyak bergaul dengan sastrawan-sastrawan
yang lain untuk menambah ilmu dan hubungan dengan banyak orang. Tidak munafik
jika ia terkadang mengharapkan honor dari karyanya, tetapi bukan merupakan
tujuan utamanya. Karena tujuan utamanya
adalah berbagi ilmu dengan masyarakat luas mengenai sastra, serta bagaimana
bisa menjadi orang yang diperhitungkan dalam dunia nyata dan sastra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar