A. BIODATA A.A NAVIS
A
Navis lahir 17 Nopember 1924 di Padangpanjang (Sumatra Barat),adalah penulis
buku Robohnya Surau Kami (1956), dan pernah menjadi anggota DPRD tingkat 1
Sumatra Barat mewaili Golkar. Cerpennya, “Robohnya Surau Kami”, terpilih
sebagai cerpen terbaik majalah Kisah tahun 1955, sedang cerpen “Jodoh” mendapat
hadiah pertama Sayembara Kincir Emas yang diselanggarakan Radio Nederland
Wereldomroep tahun 1975. Karya-karyannya yang lain adalah Bianglala ( 1963),
Hujan Panas (1964), Kemarau (1967), dan Saraswati, Si Gadis dalam Sunyi (1970).
B. PROSES PENCIPTAAN
Menurut
A. A Navis menulis itu tidak mudah. Alasan tidak mudah karena : (1) bahasa
Indonesia beliau tidak lancar sehingga kesulitan dalam proses menulis ; (2) di
sekolah, beliau tidak diberi pelajaran bagaimana mengungkapkan pikiran yang
tepat dengan menggunakan bahasa yang baik. Semasa sekolah,beliau lebih banyak
diberi pelajaran kreatif melalui tangan, bukan melalui mulut atau melalui
menulis; (3) beliau tidak mempunyai pengalaman hidup yang penuh avontur. Alasan
– alasan tersebutlah yang membuat A. A Navis kesulitan dalam memproses naskah
yang beliau tulis. Sepanjang perjalanan
A. A Navis melakukan proses kreatif, selalu ada istri yang setia menemani,
mendukung, dan selalu memberikan masukan kepada naskah-naskah yang di tulis
oleh A.A Navis.
Beberapa
pengalaman tentang nasib cerita pendek A. A Navis yang ditolak atau diterima
oleh redaksi suatu majalah disebabkan oleh beberapa hal, yaitu (1) Beliau
menulis naskah tidak dalam kondisi prima, sehingga mudah lelah, sedangkan
cerita itu belum selesai. Kalau dipaksakan terus menulisnya, jalan ceritanya
menjadi ngawur; (2) konsep atau bahan cerita tidak matang ketika mulai
menulisnya, sehingga alur cerita tidak menentu atau jalan cerita menjadi
longgar dan bertele-tele; (3) adanya situasi atau suasana yang datang
mengganggu kemudian, sehingga cerita yang tengah terbengkelai itu kehilangan
kesinambungan ketika gangguan itu
berlalu.
Bagaimana
A. A Navis menjadi pengarang
Bagi
A. A Navis mengungkapkan sejarah beliau menjadi pengarang sangat sulit
diungkapkan. Yang pasti sejak masih duduk di Sekolah Dasar, beliau sudah gemar
membaca. Beliau membaca apa saja yang bisa beliau baca. Ketika membaca berbagai cerita-cerita yang
menjadi hobi pada mulanya, telah menimbulkan
keinginan beliau untuk menjadi pengarang. Pada mulanya, beliau menulis
sebuah Roman. Belum selesai menulis Roman, beliau sudah mengalami kesulitan.
Barulah
pada tahun 1949, ketika terjadi Serangan Kedua oleh tentara Belanda terhadap
Republik Indonesia, ketika kota Bukittinggi mereka duduki, beliau mulai
berkenalan dengan berbagai kesustraan., seperti Mimbar Indonesia, Gema Suasana
yang diterbitkan dan diredaksi oleh angkatan 45an seperti Idrus, Asrul Sani,
Chairil Anwar, H.B jassin dan lain-lain. Bermula dari situlah, minat beliau
terhadap kesustraan pun bangkit. Belai mulai tertarik dengan gaya menulis
Chairil Anwar, Mochtar Lubis dan S. Takdir Alisjahbana. A. A Navis mulai
memahami, bahwa suatu teori tentang kesustraan disusun ahlinya bilamana
sastraitu sudah lahir. Dan setiap kuru waktu bentuk sastra berubah, maka teori
lama pun berubah. Artinya, teori tidaklah kekal. Dan berpegang pada teori yang
ada, menyebabkan orang tidak maju.
Pada
akhir tahun 1955 A.A Navis mulai menulis cerpen dan membaca. Beliau mulai
menuli cerpen-cerpen untuk berbagai majalah ringan , seperti majalah Roman,
Waktu, Aneka, dan sebagainya.
Sumber
Pendorong Penciptaan
Pada
suatu ketika, setiap orang harus menjatuhkan pilihan dalam kehidupannya. Mau
menjadi apa dia kelak. Pengalaman-pengalaman hidup beliau yang pahit,
kesulitan-kesulitan yang meresahkan dan menyulitkan beliau, kemiskinan dan
penderitaan yang beliau alami, keributan dan kekacauan yang meruntuhkan harkat
manusia karena peperangan, telah menimbulkan banyak hal dalam diri beliau. Sekolah
dan bacaan telah memberikan kesadaran nasional pada beliau. Tapi kehidupan yang
beliau alami menimbulkan kesadaran lain. Terutama pada akhir-akhir perang
kemerdekaan dan awal-awal kedaulatan.
Ketika
teknik bagaimana menulis cerpen telah beliau temui, temperamen beliau telah
berubah. Cerpen-cerpen beliau bernada mengejek dan sinis. Gejala itu timbul
dari orang-orang yang tak berdaya menghadapi kenyataan yang pait seperti pada
masa itu. Beliau bukanlah orang yang senang pada avontur, pengalaman besar atau
pengalaman kecil, membuat aksi-aksi secara fisik, atau hidup secara liar.
Karena itu beliau tidak dapat menulis kisah-kisah besar atau kisah-kisah berat.
Sumber penggalian untuk cerita beliau adalah lingkungan hidup beliau yang
biasa-biasa saja. Yakni tentrang orang-orang biasa, tentang pikirannya, dan
tentang tingkah lakunya. Bahan-bahan itu beliau renungkan. Bila sudah dapat polanya,
beliau baru mulai menulis. Dalam saat menulis, pikirannya tertumpah pada
penyelesaian karya itu. Banyak sebab yang menimbulkan inspirasi menulis. Ada
yang setelah membaca cerpen orang lain, ada yang menonton film, ada yang
setelah mendengar cerita orang, ada yang karena melihat tinglah laku orang.
Contohnya sebagai berikut:
a. Setelah
membaca cerpen orang lain.
Kisah karikatural “Si Jamal” dari
Mochtar Lubis menimbulkan ide untuk menulis seri sepuluh cerpen karikatural
“Pak Kantor”.
b. Setelah
menonton film.
Dari film “Naked Island” lahirlah
ide beliau untuk menulis novel “Kemarau”
c. Dari
mendengar cerita orang.
Ide cerpen “Robohnya Surau Kami”
muncul dari cerita Pak M. Safei tentang orang Indonesia yang masuk neraka
karena malasnya.
d. Dari
tinglah laku orang sekeliling.
Cerpen “Nasehat-nasehat” adalah
cerita seorang teman beliau yang dapat jodohnya di atas bis dari Padang ke
Bukit Tinggi.
Cerpen A. A Navis, idenya muncul karena suatu
peristiwa kecil yang pernah terjadi atau gabungan peristiwa kecil lainnya. Umpamanya:
a. Dari
peristiwa kecil.
Seorang nyonya rumah yang
memperoleh selendang brokat model ibu Fatmawati, sehingga ia banggakan benar
bahwa selendang itu hadiah seorang nyonya bupati.
b. Dari
gabungan peristiwa kecil
Ide cerpen “Orang Dari Luar Negeri”
timbul ketika seorang anak muda kembali dari Amerika lalu tidak merasa puas
dengan keadaan di tanah airnya sendiri, hinga dia mengomel kesana kemari. Dari
anak muda itu, beliau gabungkan tingkah laku beberapa orang lain yang baru
kembali dari luar negeri.
c. Cerpen
seperti “Sebuah Wawancara”, “Tanpa Tembok”, “Datang dan Perginya” dan beberapa
cerpen lainnya beliau tulis berdasarkan renungan-renungan, tanpa sesuatu
kejadian khusus yang membangkitkan atau menimbulkan inspirasi penciptaan.
Dalam menulis cerpen atau novel, beliau selalu
menggunakan model. Model mengenai beberapa peristiwa sangat membantu
proses atau jalan penceritaan.
Cerita-cerita yang hanya dikhayalkan saja, pada umumnya akan macet
penyelesaiannya. Kalaupun dapat diselesaikan, cerita itu terasa tidak hidup dan
kurang enak dibaca.
Sikap
A. A Navis Terhadap Kritik
Hidup tentu akan menerima pujian atau celaan. Tambah
banyak yang kita lakukan, akan tambah banyak kita dibicarakan orang, baik
tentang kebaikan atai keburukan kita. Sedang tidak berbuat apa-apapun
bersembunyi saja di dalam rumah masih akan dibicarakan atau digunjungkan orang.
Kritik sebetulnya merupakan pujian dan celaan. Atau dengan kata lain kritik
mengandung pujian sekaligus mengandung celaan.
Dalam menyikapi kririk, A. A Navis memakai penilaian
sendiri terhadap orang yang memuji, mencela ataupun mengkritik. Kalau yang
memuji itu teman baik, itu biasa. Kalau yang mencela itu musuh juga biasa. Tapi
kalau yang memuji itu musuh dan yang mencela itu kawan, itu menyebabkan saya
berpikir-pikir. Dalam menghadapi kritik terhadap karya-karya A. A Navis, beliau
bersikap sama. Sebab orang yang mengkritik itu adalah orang yang biasa juga.
Menurutnya semua kritikk dari manapun datangnya dan bagaimanapun bentuk dan
gayanya selalu memberikan banyak manfaat.
Proses Penciptaan Novel “Kemarau”
Penulisan novel kemarau lahir dari bermacam-macam
dorongan. Novel itu ditulis pada akhir tahun 1963. Di dalam cerita novel itu,
A.A Navis memasukan kisah “Datang dan Perginya” alasannya adalah:
1. Pengalaman
dan kenyataan hidup dalam perang PRRI telah lebih meyakinkan beliau akan kodrat
Tuhan menentukan hidup manusia. Meskipun seseorang telah tobat, namun Tuhan
tetap akan menguji dan menuntut amal shaleh yang lebih tinggi, yang pada
akhirnya juga akan sampai kepada suatu pilihan antara kemanusiaan dan keyakinan
beragama. Pejuang-pejuang yang tak tahan uji adalah nonsens.
2. Pada
masa itu setiap orang haruslah menentukan pilihan sesuai keyakinannya
3. Kesimpulan
hidup yang terakhir adalah setiap orang akan mati. Dalam cerpen “Dokter dan
Maut” saya telah mengemukakan perhitungan dengan maut itu. Maut bukanlah akhir
dari kehidupan, maut bagi seseorang sama artinya dengan pindah. Pindah kamar
tidur, pindah rumah kediaman, pindah kampung, pindah negeri, dan pindah dunia.
Pindah-pindah itu memang repot. Pindah dari rumah bagus ke pondok buruh, memang
menyusahkan. Tapi sebaliknya, pindah dari gubuk ke istana tentulah akan
menyenangkan. Maka kesimpulan beliau adalah setiap orang yang takut pindah ke
dunia lain adalah karena ia merasa dirinya sudah keenakan, dan tak yakin di
akhirat dia akan hidup lebih senang. Mungkin karena dosanya banyak dan
pahalanya yang kurang. Mungkin karena memang tidak mengenal Tuhan yang maha
adil atau tidak yakin.
Yang Menghalangi Penciptaan
Yang beliau maksud dengan halangan
penciptaan ialah terganggunya kreativitas dan produktivitas. Kreativitas dan
produktivitas bisa terganggu karena keadaan dalam diri sendiri dan keadaan yang
timbul dari luar. Yang ditimbulkan oleh diri sendiri ialah karena kebodohan dan
malas. Gangguan karena keadaan di luar diri sendiri meliputi sikap mental
seseorang terhadap lingkungan hidupnya sendiri, setiap orang yang punya kisah
sendiri dan punya alasan sendiri serta pandangan hidup setiap orang yang
bertolak pada pandangan hidup masing-masing.
Kesempatan atau waktu yang menghalangi kegiatan A.A
Navis untuk menulis adalah:
1. Mengurus
sekolah INS Kayutanam yang ditinggalkan Pak M. Syafei. Sekolah itu harus diurus
betul-betul agar tidak tutup. Bahkan karena kepentingan sekolah tersebut beliau
terpaksa menolak kesempatan ke Amerika Serikat untuk mengikuti International Writing Program di Iowa
City tahun 1973.
2. Beliau
tidak bisa menolak untuk ikut terlibat dalam berbagai kegiatan sosial diluar
kepentigan kreativitas dan produktivitas. Misalnya untuk menghadiri Malam HOPLA
78 ini.
3. Yang
mengganggu penciptaan lainnya ialah tingkah laku bangsa pada umumnya. Baik
tingkah laku politik maupun tingkah laku sosial. Sejak dulu sampai sekarang,
kita tidak bisa bebas menulis di Indonesia. Ada-ada saja kekuasaan yang konyol
yang menghantui kebebasan berkarya. Umpamanya kelompok ABRI, kelompok Ulama
Islam atau Nasrani, orang-orang China dan lain-lain.
Karena hal-hal tersebut maka tidak mengherankan
apabila karya-karya sastra di Indonesia yang mengisahkan peristiwa politik atau
peristiwa militer sangat sedikit. Umpamanya tentang revolusi ’45, tentang
peristiwa PRRI, dan tentang kebangkitan angkatan ’66. Padahal
peristiwa-peristiwa demikian adalah peristiwa yang sangat kaya bagi bahan penciptaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar