Selasa, 29 April 2014

PROSES KREATIF A. A NAVIS



A.    BIODATA A.A NAVIS
A Navis lahir 17 Nopember 1924 di Padangpanjang (Sumatra Barat),adalah penulis buku Robohnya Surau Kami (1956), dan pernah menjadi anggota DPRD tingkat 1 Sumatra Barat mewaili Golkar. Cerpennya, “Robohnya Surau Kami”, terpilih sebagai cerpen terbaik majalah Kisah tahun 1955, sedang cerpen “Jodoh” mendapat hadiah pertama Sayembara Kincir Emas yang diselanggarakan Radio Nederland Wereldomroep tahun 1975. Karya-karyannya yang lain adalah Bianglala ( 1963), Hujan Panas (1964), Kemarau (1967), dan Saraswati, Si Gadis dalam Sunyi (1970).


B.     PROSES PENCIPTAAN
Menurut A. A Navis menulis itu tidak mudah. Alasan tidak mudah karena : (1) bahasa Indonesia beliau tidak lancar sehingga kesulitan dalam proses menulis ; (2) di sekolah, beliau tidak diberi pelajaran bagaimana mengungkapkan pikiran yang tepat dengan menggunakan bahasa yang baik. Semasa sekolah,beliau lebih banyak diberi pelajaran kreatif melalui tangan, bukan melalui mulut atau melalui menulis; (3) beliau tidak mempunyai pengalaman hidup yang penuh avontur. Alasan – alasan tersebutlah yang membuat A. A Navis kesulitan dalam memproses naskah yang beliau tulis.  Sepanjang perjalanan A. A Navis melakukan proses kreatif, selalu ada istri yang setia menemani, mendukung, dan selalu memberikan masukan kepada naskah-naskah yang di tulis oleh A.A Navis.
Beberapa pengalaman tentang nasib cerita pendek A. A Navis yang ditolak atau diterima oleh redaksi suatu majalah disebabkan oleh beberapa hal, yaitu (1) Beliau menulis naskah tidak dalam kondisi prima, sehingga mudah lelah, sedangkan cerita itu belum selesai. Kalau dipaksakan terus menulisnya, jalan ceritanya menjadi ngawur; (2) konsep atau bahan cerita tidak matang ketika mulai menulisnya, sehingga alur cerita tidak menentu atau jalan cerita menjadi longgar dan bertele-tele; (3) adanya situasi atau suasana yang datang mengganggu kemudian, sehingga cerita yang tengah terbengkelai itu kehilangan kesinambungan  ketika gangguan itu berlalu.

Bagaimana A. A Navis menjadi pengarang
Bagi A. A Navis mengungkapkan sejarah beliau menjadi pengarang sangat sulit diungkapkan. Yang pasti sejak masih duduk di Sekolah Dasar, beliau sudah gemar membaca. Beliau membaca apa saja yang bisa beliau baca.  Ketika membaca berbagai cerita-cerita yang menjadi hobi pada mulanya, telah menimbulkan  keinginan beliau untuk menjadi pengarang. Pada mulanya, beliau menulis sebuah Roman. Belum selesai menulis Roman, beliau sudah mengalami kesulitan.
Barulah pada tahun 1949, ketika terjadi Serangan Kedua oleh tentara Belanda terhadap Republik Indonesia, ketika kota Bukittinggi mereka duduki, beliau mulai berkenalan dengan berbagai kesustraan., seperti Mimbar Indonesia, Gema Suasana yang diterbitkan dan diredaksi oleh angkatan 45an seperti Idrus, Asrul Sani, Chairil Anwar, H.B jassin dan lain-lain. Bermula dari situlah, minat beliau terhadap kesustraan pun bangkit. Belai mulai tertarik dengan gaya menulis Chairil Anwar, Mochtar Lubis dan S. Takdir Alisjahbana. A. A Navis mulai memahami, bahwa suatu teori tentang kesustraan disusun ahlinya bilamana sastraitu sudah lahir. Dan setiap kuru waktu bentuk sastra berubah, maka teori lama pun berubah. Artinya, teori tidaklah kekal. Dan berpegang pada teori yang ada, menyebabkan orang tidak maju.
Pada akhir tahun 1955 A.A Navis mulai menulis cerpen dan membaca. Beliau mulai menuli cerpen-cerpen untuk berbagai majalah ringan , seperti majalah Roman, Waktu, Aneka, dan sebagainya.

Sumber Pendorong Penciptaan
Pada suatu ketika, setiap orang harus menjatuhkan pilihan dalam kehidupannya. Mau menjadi apa dia kelak. Pengalaman-pengalaman hidup beliau yang pahit, kesulitan-kesulitan yang meresahkan dan menyulitkan beliau, kemiskinan dan penderitaan yang beliau alami, keributan dan kekacauan yang meruntuhkan harkat manusia karena peperangan, telah menimbulkan banyak hal dalam diri beliau. Sekolah dan bacaan telah memberikan kesadaran nasional pada beliau. Tapi kehidupan yang beliau alami menimbulkan kesadaran lain. Terutama pada akhir-akhir perang kemerdekaan dan awal-awal kedaulatan.
Ketika teknik bagaimana menulis cerpen telah beliau temui, temperamen beliau telah berubah. Cerpen-cerpen beliau bernada mengejek dan sinis. Gejala itu timbul dari orang-orang yang tak berdaya menghadapi kenyataan yang pait seperti pada masa itu. Beliau bukanlah orang yang senang pada avontur, pengalaman besar atau pengalaman kecil, membuat aksi-aksi secara fisik, atau hidup secara liar. Karena itu beliau tidak dapat menulis kisah-kisah besar atau kisah-kisah berat. Sumber penggalian untuk cerita beliau adalah lingkungan hidup beliau yang biasa-biasa saja. Yakni tentrang orang-orang biasa, tentang pikirannya, dan tentang tingkah lakunya. Bahan-bahan itu beliau renungkan. Bila sudah dapat polanya, beliau baru mulai menulis. Dalam saat menulis, pikirannya tertumpah pada penyelesaian karya itu. Banyak sebab yang menimbulkan inspirasi menulis. Ada yang setelah membaca cerpen orang lain, ada yang menonton film, ada yang setelah mendengar cerita orang, ada yang karena melihat tinglah laku orang. Contohnya sebagai berikut:
a.       Setelah membaca cerpen orang lain.
Kisah karikatural “Si Jamal” dari Mochtar Lubis menimbulkan ide untuk menulis seri sepuluh cerpen karikatural “Pak Kantor”.
b.      Setelah menonton film.
Dari film “Naked Island” lahirlah ide beliau untuk menulis novel “Kemarau”
c.       Dari mendengar cerita orang.
Ide cerpen “Robohnya Surau Kami” muncul dari cerita Pak M. Safei tentang orang Indonesia yang masuk neraka karena malasnya.
d.      Dari tinglah laku orang sekeliling.
Cerpen “Nasehat-nasehat” adalah cerita seorang teman beliau yang dapat jodohnya di atas bis dari Padang ke Bukit Tinggi.
Cerpen A. A Navis, idenya muncul karena suatu peristiwa kecil yang pernah terjadi atau gabungan peristiwa kecil lainnya. Umpamanya:
a.       Dari peristiwa kecil.
Seorang nyonya rumah yang memperoleh selendang brokat model ibu Fatmawati, sehingga ia banggakan benar bahwa selendang itu hadiah seorang nyonya bupati.
b.      Dari gabungan peristiwa kecil
Ide cerpen “Orang Dari Luar Negeri” timbul ketika seorang anak muda kembali dari Amerika lalu tidak merasa puas dengan keadaan di tanah airnya sendiri, hinga dia mengomel kesana kemari. Dari anak muda itu, beliau gabungkan tingkah laku beberapa orang lain yang baru kembali dari luar negeri.
c.       Cerpen seperti “Sebuah Wawancara”, “Tanpa Tembok”, “Datang dan Perginya” dan beberapa cerpen lainnya beliau tulis berdasarkan renungan-renungan, tanpa sesuatu kejadian khusus yang membangkitkan atau menimbulkan inspirasi penciptaan.
Dalam menulis cerpen atau novel, beliau selalu menggunakan model. Model mengenai beberapa peristiwa sangat membantu proses  atau jalan penceritaan. Cerita-cerita yang hanya dikhayalkan saja, pada umumnya akan macet penyelesaiannya. Kalaupun dapat diselesaikan, cerita itu terasa tidak hidup dan kurang enak dibaca.

Sikap A. A Navis Terhadap Kritik
Hidup tentu akan menerima pujian atau celaan. Tambah banyak yang kita lakukan, akan tambah banyak kita dibicarakan orang, baik tentang kebaikan atai keburukan kita. Sedang tidak berbuat apa-apapun bersembunyi saja di dalam rumah masih akan dibicarakan atau digunjungkan orang. Kritik sebetulnya merupakan pujian dan celaan. Atau dengan kata lain kritik mengandung pujian sekaligus mengandung celaan.
Dalam menyikapi kririk, A. A Navis memakai penilaian sendiri terhadap orang yang memuji, mencela ataupun mengkritik. Kalau yang memuji itu teman baik, itu biasa. Kalau yang mencela itu musuh juga biasa. Tapi kalau yang memuji itu musuh dan yang mencela itu kawan, itu menyebabkan saya berpikir-pikir. Dalam menghadapi kritik terhadap karya-karya A. A Navis, beliau bersikap sama. Sebab orang yang mengkritik itu adalah orang yang biasa juga. Menurutnya semua kritikk dari manapun datangnya dan bagaimanapun bentuk dan gayanya selalu memberikan banyak manfaat.

            Proses Penciptaan Novel “Kemarau”
Penulisan novel kemarau lahir dari bermacam-macam dorongan. Novel itu ditulis pada akhir tahun 1963. Di dalam cerita novel itu, A.A Navis memasukan kisah “Datang dan Perginya” alasannya adalah:
1.      Pengalaman dan kenyataan hidup dalam perang PRRI telah lebih meyakinkan beliau akan kodrat Tuhan menentukan hidup manusia. Meskipun seseorang telah tobat, namun Tuhan tetap akan menguji dan menuntut amal shaleh yang lebih tinggi, yang pada akhirnya juga akan sampai kepada suatu pilihan antara kemanusiaan dan keyakinan beragama. Pejuang-pejuang yang tak tahan uji adalah nonsens.
2.      Pada masa itu setiap orang haruslah menentukan pilihan sesuai keyakinannya
3.      Kesimpulan hidup yang terakhir adalah setiap orang akan mati. Dalam cerpen “Dokter dan Maut” saya telah mengemukakan perhitungan dengan maut itu. Maut bukanlah akhir dari kehidupan, maut bagi seseorang sama artinya dengan pindah. Pindah kamar tidur, pindah rumah kediaman, pindah kampung, pindah negeri, dan pindah dunia. Pindah-pindah itu memang repot. Pindah dari rumah bagus ke pondok buruh, memang menyusahkan. Tapi sebaliknya, pindah dari gubuk ke istana tentulah akan menyenangkan. Maka kesimpulan beliau adalah setiap orang yang takut pindah ke dunia lain adalah karena ia merasa dirinya sudah keenakan, dan tak yakin di akhirat dia akan hidup lebih senang. Mungkin karena dosanya banyak dan pahalanya yang kurang. Mungkin karena memang tidak mengenal Tuhan yang maha adil atau tidak yakin.

Yang Menghalangi Penciptaan
            Yang beliau maksud dengan halangan penciptaan ialah terganggunya kreativitas dan produktivitas. Kreativitas dan produktivitas bisa terganggu karena keadaan dalam diri sendiri dan keadaan yang timbul dari luar. Yang ditimbulkan oleh diri sendiri ialah karena kebodohan dan malas. Gangguan karena keadaan di luar diri sendiri meliputi sikap mental seseorang terhadap lingkungan hidupnya sendiri, setiap orang yang punya kisah sendiri dan punya alasan sendiri serta pandangan hidup setiap orang yang bertolak pada pandangan hidup masing-masing.
Kesempatan atau waktu yang menghalangi kegiatan A.A Navis untuk menulis adalah:
1.      Mengurus sekolah INS Kayutanam yang ditinggalkan Pak M. Syafei. Sekolah itu harus diurus betul-betul agar tidak tutup. Bahkan karena kepentingan sekolah tersebut beliau terpaksa menolak kesempatan ke Amerika Serikat untuk mengikuti International Writing Program di Iowa City tahun 1973.
2.      Beliau tidak bisa menolak untuk ikut terlibat dalam berbagai kegiatan sosial diluar kepentigan kreativitas dan produktivitas. Misalnya untuk menghadiri Malam HOPLA 78 ini.
3.      Yang mengganggu penciptaan lainnya ialah tingkah laku bangsa pada umumnya. Baik tingkah laku politik maupun tingkah laku sosial. Sejak dulu sampai sekarang, kita tidak bisa bebas menulis di Indonesia. Ada-ada saja kekuasaan yang konyol yang menghantui kebebasan berkarya. Umpamanya kelompok ABRI, kelompok Ulama Islam atau Nasrani, orang-orang China dan lain-lain.
Karena hal-hal tersebut maka tidak mengherankan apabila karya-karya sastra di Indonesia yang mengisahkan peristiwa politik atau peristiwa militer sangat sedikit. Umpamanya tentang revolusi ’45, tentang peristiwa PRRI, dan tentang kebangkitan angkatan ’66. Padahal peristiwa-peristiwa demikian adalah peristiwa yang sangat kaya bagi bahan penciptaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TUGAS KELAS X BAHASA INDONESIA WAJIB (SMATAQ)

Dalam upaya untuk tetap melaksanakan kegiatan belajar mengajar di SMA Takhassus Al-Qur'an via daring, maka berikut tugas untuk kelas X b...