Selasa, 29 April 2014

CONTOH MAKALAH ANALISIS HERMENEUTIKA METAFORA, SIMBOL, DAN KONSEP SAJAK “CINCIN” DAN “KESETIAAN” KARYA ABDUL WACHID B.S


BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG MASALAH
            Karya sastra adalah hasil cipta karya manusia yang berupa fiksi yang di dalamnya terdapat pesan-pesan yang ingin disampaikan oleh penulis, baik yang memang merupakan karangan atau kisah pengalaman hidup penulis. Puisi berasal dari bahasa Yunani “poiesis” yang berarti penciptaan. Puisi merupakan sebuah ekspresi yang mampu membangkitkan perasaan, merangsang imajinasi panca indra (Tarigan, 1984: 4 via Heru Kurniawan). Setiap penyair pasti mempunyai gaya atau ciri khas tersendiri untuk menulis karyanya. Entah di dalam pemilihan bahasa ataupun pemenggalan kata yang digunakan.
Dalam pemahaman dan menganalisis sebuah puisi, hendaknya melakukan analisis secara menyeluruh dan pengkajian maupun menganalisis puisi, banyak metode yang dapat digunakan untuk memperoleh dan menemukan makna yang ada dalam puisi yang akan di kaji. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk menganalisis sebuah puisi adalah dengan teori hermeneutika. Di dalam makalah ini penulis menggunakan teori hermeneutika yang diungkapkan oleh Paul Ricoeur. Bagaimana menganalisis sajak “Cincin”dan “Kesetiaan” karya Abdul Wachid B.S dengan teori hermeneutika Paul Ricoeur.

B.     IDENTIFIKASI MASALAH
            Masalah yang akan dibahas dalam sajak sajak “Cincin”dan “Kesetiaan” karya Abdul Wachid B.S. Bagaimana menentukan bagian kata atau bait mana yang merupakan metafora, simbol, dan konsep. Dengan mengkaji berdasarkan teori hermeniotika Paul Recoeur. Penafsiran tentang arti makna sebuah puisi oleh setiap orang pastinya berbeda-beda, oleh karena itu penulis akan membahas itu satu untuk memperjelasnya.
C.    RUMUSAN MASALAH
a.       Bagaimana metafora dalam sajak sajak “Cincin” dan “Kesetiaan”karya Abdul Wachid B.S?
b.      Bagaimana simbol dalam sajak sajak “Cincin”dan “Kesetiaan” karya Abdul Wachid B.S?
c.       Bagaimana konsep mistisisme sajak sajak “Cincin”dan “Kesetiaan” karya Abdul Wachid B.S?

D.    LANDASAN TEORI
1.      KONSEP INTERPRETASI TEKS PAUL RICOEUR
            Hermeniotika adalah teori tentang bekerjanya pemahaman dalam menafsirkan teks (Ricoeur, 1981: 43 via Heru Kurniawan), dan (Palmer2003: 8 via Heru Kurniawan) menjelaskan bahwa dua fokus dalam kajian hermeniotika mencakup; (1) peristiwa pemahaman terhadap teks, (2) persoalan yang lebih mengarah mengenai pemahaman dan interpretasi. Hal ini memperlihatkan bahwa gagasan utama dalam hermeniotika adalah pemahaman pada teks.
            Ricoeur (1981: 146 via Heru Kurniawan) menjelaskan bahwa teks adalah sebuah wacana yang dibakukan lewat bahasa. Apa yang dibakukan oleh tulisan adalah wacana yang dapat diucapkan, tetapi wacana ditulis karena tidak diucapkan. Di sini, terlihat bahwa teks merupakan wacana yang disampaikan dengan tulisan. Jadi, teks sebagai wacana, yang dituliskan dalam hermeniotika Paul Rocoeur, berdiri secara otonom, bukan merupakan turunan dari bahasa lisan, seperti yang dipahami oleh strukturalisme. Teks bukanlah sekedar inskripsi (pembakuan ke dalam tulisan). Perwujudan wacana ke dalam bentuk tulisan mempunyai beberapa ciri yang mampu membebaskan teks dari berbagai wacana lisan. Riceour meringkas ciri-ciri ke dalam konsep yang disebut “penjarakan” (distanction) yang memiliki empat bentuk dasar. Pertama, makna yang dimaksudkan melingkupi peristiwa ucapan. Kedua, berhubungan dengan relasi antara ungkapan diinskripsikan dengan pengujar. Ketiga memperlihatkan ketimpangan serupa antara ungkapan yang disampaikan dengan audien asli, yaitu wacana tulis, yaitu wacana lisan yang dialamatkan kepada audienm yang belum dikenal, dan siapa saja yang bisa membacameungkin saja menjadi salah seorangnuya.
            Teks sebagai wacana yang dikembangkan Recoeur ini mengacu pada dialektika antara peristiwa dan makna, yaitu peristiwa sebagai proposisi yang dianggap sebagai fungsi predikatif yang digabung dengan identifikasi. Dengan demikian, wacana diaktualisasikan sebagai peristiwa; semua wacana dipahami sebagai makna. Makna berarti menunjukkan pada isi proposisional, seperti sintesis dua fungsi: identifikasi dan predikasi. Penekanan dan pelampauan peristiwa dalam makna inilah yang menjadi ciri utama wacana (Ricoeur, 1976:12 via Heru Kurniawan)
            Dalam hal ini, Ricoeur menekankan kajian hermeneutikanya pada pemahaman teks (otonomi semantik teks), yang interpretasinya didasrkan pada teks. Oleh karena itu, konsep ini membentangkan prosedurnya di dalam batas seperangkat makna yang telah memutuskan tali-talinya dengan psikologi pengarangnya (Ricoeur, 1976: 30 via Heru Kurniawan).
            Penjelasan di atas menyimpulkan bahwa kerangka analisis hermeneutika Paul Ricoeur beroperasi pada teks sebagai dunia yang otonom. Teks mempunyai dunianya sendiri yang terbebas dari beban psikologi mental pengarangnya. Teks adalah bahasa tulis yang memenuhi dirinya sendiri, tanpa bergantung kepada bahasa lisan. Oleh karena itu, interpretasi bergerak pada dua wilayah, yaitu “ke dalam” sense, yang berupa “penjelasan” (explanationa) terhadap dunia dalam teks dan “ke luar” reference, yang berupa “pemahaman” (understanding) terhadap dunia luar yang diacu oleh teks. Penjelasan terhadap teks bersifat objektivitasi, sedangkan pemahaman bersifat subjektivitas.
2.      TEORI METAFORA
            Metafora, kata Monroe adalah “puisi dalam miniatur”. Metafora menghubungkan makna harfiah dengan makna figuratif dalam karya sastra. Dalam hal ini, karya sastra merupakan karya wacana yang menyatukan makna eksplisit dan implisit. Di dalam tradisi positivisme logis, perbedaan makna antara bahasa kognitif dan emotif, yang kemudian dialihkan menjadi perbedaan menjadi vokabuler denotasi dan konotasi. Denotasi dianggap sebagai makna kognitif yang merupakan tatanan semantik, sedangkan konotasi adalah ekstra-semantik. Konotasi terdiri atas seruan-seruan emotif yang terjadi serentak yang nilai kognitifnya dangkal. Dengan demikian, arti figurative suatu teks harus dilihat sebagai hilangnya makna kognitif apapun. Karya sastra dibuka oleh saling berpengaruhnya makna-makna ini, yang memusatkan analisisnya pada desain herbal, yaitu karya wacana yang menghasilkan ambiguitas semantik yang mencirikan suatu karya sastra. Karya wacana inilah yang dapat dilihat dalam miniatur dalam metafora (Ricoeur, 1976: 43 via Heru Kurniawan).
            Dalam retorika tradisional, metorika digolongkan sebagai majas yang mengelompokkan variasi-variasi dalam makna ke dalam pengalaman kata-kata, atau lebih tepatnya proses denominasi. Tujuan majas adalah mengisi tempat kosong semantik dalam kode leksikal atau menghiasi wacana dan membuatnya lebih menyenangkan. Oleh karena itu, metafora memiliki ide lebih banyak dari kata untuk mengungkapkan kata itu, metafora akan meregangkan makna kata-kata yang dimiliki melampaui pemakaian biasanya (Ricoeur, 1976: 45 via Heru Kurniawan).
            Retorika klasik sebagai majas metafora dipandang sebagai substitusi sederhana dari kata satu untuk kata yang lain. Metafora klasik hanya mencakup satu ‘bagian’ dari apa yang disebut Aristoteles dengan diksi, yaitu salah satu dari sekumpulan prosedur diskursif, penggunaan kata-kata yang tidak lazim, menciptakan kata-kata baru, mempersingkat atau memperpanjang kata-kata, yang semua menyimpang dari penggunaan kata-kata secara umum (Ricoeur, 1981: 179via Heru Kurniawan). Konsep metafora klasik di atas, oleh Ricoeur (1976: 61 via Heru Kurniawan) disebut dengan metafora mati (death metaphor). Metafora secara kreatif terjadi karena pesan paling sederhana yang disampaikan melalui bahasa yang alami harus ditafsirkan, karena semua kata memiliki arti lebih dari satu (polisemi) dan baru mendapatkan aktualnya jika dikaitkan dengan konteks, dan audien yang ada, dan bukan dengan latar belakang situasi (Ricoeur, 1977: 125 via Heru Kurniawan). Metafora hidup atau inventif merupakan inovasi semantik yang bagian arti dari tatanan predikatif (kesesuaian baru) sekaligus tatanan (penyimpangan paradigmatis) (Ricoeur, 1977: 156-157 via Heru Kurniawan).
            Dengan demikian, konsep metafora menurut Paul Ricoeur dapat disimpulkan; (1) metafora terjadi pada wilayah interpretasi dalam satu proposisi yang ditandai oleh unsur predikasi. Metafora merupakan ketegangan (tension) pada dua dunia (kata) yang berbeda (difference) karena adanya keserupaan (resemblance) yang ditandai oleh kehadiran predikasi-universal. Hal ini mengakibatkan ketegangan dalam metafora sesungguhnya tidak dapat diparafrasekan, artinya, kalaupun bisa, parafrase semacam ini tidak terbatas dan tidak mampu menjelaskan makna inivatifnya atau makna tambah (surplus meaning); (2) metafora bukanlah hiasan wacana. Metafora memiliki lebih dari hanya nilai emotif karena metafora memberi informasi baru. Metafora hakikatnya menceritakan realitas baru yang dikonstruksi oleh wacana.
3.      TEORI SIMBOL
            Kata “simbol” yang berasal dari kata Yunani sumballo berarti “menghubungkan atau menggabungkan”. Simbol merupakan suatu tanda, tetapi tidak setiap tanda adalah simbol. Simbol yang berstruktur polisemik adalah ekspresi yang mengkomunikasikan banyak arti. Bagi Ricoeur, yang menandai suatu tanda sebagai simbol adalah arti gandanya atau intensionalitas arti gandanya. Ricoeur merumuskan bahwa setiap struktur pengertian adalah suatu arti langsung primer, harfiah, yang menunjukan arti lain yang bersifat tidak langsung sekunder, figuratif yang tidak dapat dipahami selain lewat arti pertama (Poespoprodjo, 2004: 119 via Heru Kurniawan).
            Kajian terhadap simbol berjalan dengan dua kesulitan untuk masuk ke struktur gandanya; pertama, simbol memiliki bidang penelitian yang terlalu banyak dan terlalu beraneka ragam. Misalnya, ada tiga bidang yang dibahas Ricoeur; (1) psikoanalisis (2) sastra (puisi) (3) kesejarahan agama. Kedua, konsep simbol mendekatkan pada dua dimensi atau dua semesta wacana, yaitu satu tatanan linguistik dan tatanan nonlinguistik. Simbol linguistik dibuktikan oleh fakta bahwa simbol dibangun oleh semantik simbol, yaitu teori yang menjelaskan struktur simbol berdasarkan makna signifikasi. Dimensi nonlinguistik hanya bisa dijelaskan oleh linguistik.
            Simbolisme hanya bekerja ketika strukturnya ditafsirkan. Hermeneutika minimal diperlukan demi berfungsinya simbolisme apa pun. Akan tetapi, penjabaran linguistik ini tidak menekankan pada apa yang disebut ketaatan pada simbolisme yang khas semesta suci. Ciri makna semantik simbol diidentifikasi dengan melihat hubungan makna harfiah dengan figuratif dalam tuturan metaforis. Simbol dikaitakan dengan bahasa, sebab simbol muncul jika ia diujarkan, sedangkan metafora adalah pelaku ulang yang membahas aspek simbol. Makna simbol bertentangan dengan makna harfiah. Namun, simbol sebenarnya menghasilkan dua tingkat makna. Dalam makna simbolis, tentu tidak ada dua makna, maka dua makna itu menjadi satu tingkatan (gerakan) yang memindahkan dari tingkat satu (linguistik) ke tingkat (nonlinguistik) yang keduanya berasimilasi menjadi makna yang dicari.
            Oleh karena itu, makna simbolik tersusun dalam dua makna. Makna pertama adalah satu-satunya sarana memasuki makna tambahan. Arti primer memberi makna sekunder, betul-betul sebagai arti dari suatu arti (the meaning of a meaning) (Ricoeur, 1976:54 via Heru Kurniawan)


BAB II
ISI PEMBAHASAN

A.      Sajak “Cincin” karya Abdul Wachid B.S
Cincin
Kupikirkan sebuah cincin maha besarnya yang
Melingkari jemari manis semseta yang
Ditengahnya lobang seperti jantungku yang
Berlobang tertembus oleh cintamu

Dan cincin itu disemayamkan diatas kursi yang
Megah  yang semua pencpitaan berbeda
Di lingkaran cincin itu yang
Kau aku saling mencari sehingga bertemu

Di sebuah taman : kau aku saling
Mengagumi sebatang pohon rimbun teduh
Meneduhan badan tetapi mengerangkan jiwa
Kau aku menjadi lapar karena dahaga yang

Berkepanjangan, tahu-tahu kau aku memetiknya
Menikmatinya dengan tergesa lantaran
Takut-takut ketahuan sang pemiliknya
Tahu-tahu kau aku kian lapar kian dahaga

Si pemilik kebun yang penuh cinta dan kasih sayang itu
Tahu-tahu berada di semua arah kita dan berkata
“bila kalian saling lingkarkan cincin ke jemari manis
Lapar dahaga kalian akan sirna

Maka di siang yang terang di sebuah taman:
Kau aku saling melingkarkan cincin
Kau aku lalu meniru laku semesta, bertawaf
Melingkari cincin itu, berputar-putar

Tiada kata akhir, tersebab
Antara memulai dan mengakhiri hanyalah beujung
Di tengahnya: lobang seperti jantung hati kau aku yang
Berlobang tertembus cinta oleh cinta-Nya

Purwokerto-Yogyakarta, 2 Agustus 2012

a.      Metafora dalam sajak “cincin”
Metafora dalam sajak “cincin” memiliki arti dan makna yang sangat luas, karena pemahaman dan pemkanaan setiap orang terhadap sebuah karya sastra pasti berbeda-beda. Di dalam sajak ini menceritakan tentang kehidupan manusia yang sedang haus dan dahaga beribadah kepada-Nya. Antara memulai dan mengakhirinya akan berujung ditengahnya, begitulah kehidupan dan peribadahan kepada Tuhan seperti memutari Ka’bah tidak akan pernah tahu awal dan akhirnya. Inilah bukti cinta manusia kepada Tuhannya. Melalui ibadah manusia berkomunikasi dengan Tuhannya secara langsung menunjukan bahwa manusia selalu mengingat Tuhannya seperti Tuhan selalu mengingat manusia. Rasa cinta yang saling memiliki timbal balik antara manusia degan Tuhannya. Tuhan melimpahkan segala rahmat-Nya kepada manusia karena Tuhan sayang kepada manusia. Itupun juga apabila manusia selalu beribadah kepada-Nya, segala rizki dan rahmatnya akan mudah untuk didapatkan. Berbeda dengan orang yang jarang atau bahkan tidak pernah beribadah kepada-Nya. Tuhan akan memberikan balasan yang setimpal apa yang sudah di kerkjakan manussia kepada-Nya.

            Bait 1 :
                        Kupikirkan sebuah cincin maha besarnya yang
Melingkari jemari manis semseta yang
Ditengahnya lobang seperti jantungku yang
Berlobang tertembus oleh cintamu
Bait pertama ini penulis menggambarkan tentang sesuatu yang maha besar dan berada paling atas dari yang ada diatasnya. “Cincin” menyimbolkan tentang kebesaran dan keagungan Ka’bah bagi umat Islam. Karena Ka’bah ini menjadi pusat dan panutan umat Islam dalam beribadah kepada-Nya, dimana umat Islam tidak akan pernah lepas dari “lingkaran” batasan ajaran agama yang dianutnya. “Lobang” sendiri merupakan makana asli dari lobang yang berada pada Ka’bah. Namun pada “berlobang” memiliki makna yang berbeda, metafora ini bermakna kias atau penulis telah jatuh cinta yang mendalam kepada Tuhannya karena selalu beribadah kepada-Nya.
            Bait 2 :
                        Dan cincin itu disemayamkan diatas kursi yang
Megah  yang semua pencpitaan berbeda
Di lingkaran cincin itu yang
Kau aku saling mencari sehingga bertemu
Arti secara keseluruhan dari bait kedua ini bahwa Ka’bah terletak diantara yang paling atas dari semua ciptaan Allah. Di dalam lingkaran “aku-lirik” berputar mengelilingi Ka’bah untuk mendapatkan kesempurnaan dalam berhaji dan supaya bisa menemukan dihati dan pikirannya dimanakah “kau-lirik” (Allah) berada untuk berjumpa dalam kesempuranaan beribadah kepada-Nya.
            Bait 3 :
                        Di sebuah taman : kau aku saling
Mengagumi sebatang pohon rimbun teduh
Meneduhan badan tetapi mengerangkan jiwa
Kau aku menjadi lapar karena dahaga yang
Pada bait ketiga ini “taman” bermakna sebuah tempat dimana Ka’bah berada (Arab), “aku-liriik” (penulis) menggambarkan tentang suasana hatinya yang merasa nyaman ketika berada di dekat “pohon”(beribadah) kepada “kau-lirik” (Allah). Hatinya begitu teduh nyamantetapi juga mengerangkan jiwa, yang menjadikan “aku-lirik” “selalu lapar dan dahaga” (selalu ingin atau ketagihan) beribadah kepada-Nya.
            Bait 4 :
                        Berkepanjangan, tahu-tahu kau aku memetiknya
Menikmatinya dengan tergesa lantaran
Takut-takut ketahuan sang pemiliknya
Tahu-tahu kau aku kian lapar kian dahaga
“Memetiknya” bermakan bahwa “aku-lirik” (penulis) telah melakukan ibdah kepada Allah dan menikmati peribadahannya tersebut dengan tergesa, karena takut ketahuan “kau-lirik” (Allah) kalau ibadahnya tergesa-gesa karena diburu waktu ketika berhaji. Semakin sering melakukanya “aku-lirik” semakin merasa candu dan ingin terus mengulang ibadah kepada Tuhanya tersebut.
            Bait 5 :
                        Si pemilik kebun yang penuh cinta dan kasih sayang itu
Tahu-tahu berada di semua arah kita dan berkata
“Bila kalian saling lingkarkan cincin ke jemari manis
Lapar dahaga kalian akan sirna”
Pada bait kelima ini menceritakan bahwa “si pemilik kebun” (orang arab/pemuka agam) tiba-tiba masuk berbisik kepada “aku-lirik” untuk segera bergegas berangkat beribadah kepada “kau-lirik” (Allah). Karena hanya dengan hal tersebut akan lebih mendekatkan hubungan antara “aku-lirik” dengan “kau-lirik” dan akan menghilangkan rasa rindu “aku-lirik” dengan “kau-lirik”
            Bait 6 :
                        Maka di siang yang terang di sebuah taman:
Kau aku saling melingkarkan cincin
Kau aku lalu meniru laku semesta, bertawaf
Melingkari cincin itu, berputar-putar
Makan di siang hari yang sangat terang di “taman” (tempat Ka’bah berada/Arab) “kau-lirik” dan “aku-lirik” saling “melingkarkan” (berkomunikasi/berdoa) dengan cara “aku-lirik” meniru semua “semesta” (umat islam” yang berada di dekitar Ka’bah untuk bertawaf kepada-Nya. Berkomunikasi/berdoa dan terus mengelilingi Ka’bah berputar-putar.
            Bait 7 :
                        Tiada kata akhir, tersebab
Antara memulai dan mengakhiri hanyalah beujung
Di tengahnya: lobang seperti jantung hati kau aku yang
Berlobang tertembus cinta oleh cinta-Nya
Tiada kata akhir dalam mengelilingi Ka’bah, karena antara menagawali dan mengakhirinya tidak akan tahu dimana tepatnya. Hanya akan berujung “ditengahnya” (lubang yang berada dikabah). Lubang yang untuk berkomunikasi/berdoa oleh “aku-lirik” kepada “kau-lirik” yang semakin merasa dekat ketika “aku lirik” berdoa kepada-Nya.
b.      Simbol cincin dalam sajak “cincin”
Makna cincin secara umum adalah suatu barang yang berbentuk lingkaran yang di tengahnya terdapat lubang yang bisa dimasuki oleh suatu benda. Pada sajak “cincin” karya Abdul Wachid B.S “cincin” di simbolkan sebagai Ka’bah yang menjadi pusat dari orang diseluruh dunia untuk beribadah kepada Allah swt, dan merupakan pusat juga bagi orang yang akan bertawaf (ibadah ketika melaksanakan haji) mengelilinginya.
Dan cincin itu disemayamkan diatas kursi yang
Megah  yang semua pencpitaan berbeda
Di lingkaran cincin itu yang
Kau aku saling mencari sehingga bertemu
Jadi bisa kita lihat dari penggalan bait puisi di atas bahwa “cincin” disini menyimbolkan tentang Ka’bah yang selalu menjadi pusat ibadah umat Islam pada Allah swt.
c.       Konsep mitisisme cincin dalam sajak “Cincin”
Konsep mistisisme cincin pada sajak “cincin” dapat mengungkapkan tentang Ka’bah yang menjadi pusat ibadah seluruh umat Islam di dunia. Dimana setiap kali orang beribadah haji maka orang tersebut akan bertawaf mengelilingi Ka’bah. “Aku-lirik” yang beribadah kepada “kau-lirik” melalui doa-doanya ketika berada di Ka’bah.

B.       Sajak “Kesetiaan” Karya Abdul Wachid B. S

(1)   Kesetiaan itu seperti embun pagi hari yang
Memberi warna kepada rupa wajah dan rasa
Hati yang tidak waswas terkhianati kekasih yang
Gatal digarukgaruk oleh sepi

(2)   Harapharap cemas akan kesetiaan itu
Seorang kekasih berdiri diatas duriduri
Batinnya berdarahdarah lantaran sangsi
Ketika dia pergi ingin sekali kembali

(3)   Tetapi
Ditarikmenarik
Antara rindu
Dan panas api

                        Dalam Sajak Kesetiaan karya Abdul Wachid B.S. ini Menceritakan tentang bagaimana kita harus berhati-hati dalam menyikapi sebuah perasaan. Keterkaitan dalam puisi ini adalah “sebab-akibat”, Penyebab suatu “akibat” adalah “sebab” itu sendiri. Penyebab kita terasa sakit hati, terkadang karena ulah kita sendiri yang sudah menghianati seorang kekasih. Was-was, jeli dalam menentukan sebuah pilihan, berhati-hati dan selalu melihat bagaimana kedepannya suatu perasaan apabila disatukan. Bingung antara perasaan rindu dan cemburu. Seperti halnya hati yang ditarik dan menarik antara perasaan cemburu dan rindu.
(1)   Kesetiaan itu seperti embun pagi hari yang
Memberi warna kepada rupa wajah dan rasa
Hati yang tidak waswas terkhianati kekasih yang
Gatal digarukgaruk oleh sepi
Bait pertama “Kesetiaan itu Seperti Embun Pagi, Memberi Warna Kepada Wajah dan Rupa” sangat tergambar jelas bahwa sebuah kesetiaan itu sangatlah terasa sejuk, sampai-sampai membuat rona wajah berwarna merah merona. Seseorang yang merasakan sebuah kesetiaan, pastinya akan merasa bahagia, selalu tersenyum dalam keadaan apapun, apalagi antara pasangan saling memberikan romantisme dan support. “Hati yang tidak waswas terkhianati kekasih yang, Gatal digarukgaruk oleh sepi”. Makna dari kedua kalimat tersebut adalah sebuah perasaan yang tenang, damai, dan terasa indah karena tidak merasa cemas apabila sebuah pasangan mempunyai sifat yang setia, yang tidak hilang perasaannya karena sebuah ke hambaran/kesepian dalam sebuah perasaan/hubungan. Keterkaitan “sebab-akibat” tergambar dalam kalimat “Kesetiaan itu Seperti Embun Pagi, Memberi Warna Kepada Wajah dan Rupa”, sebab dari perasaan yang setia, mengakibatkan hati yang terasa sejuk seperti halnya embun di pagi hari, menyebabkan rona-rona pada wajah yang memerah.
(2)   Harapharap cemas akan kesetiaan itu
Seorang kekasih berdiri diatas duriduri
Batinnya berdarahdarah lantaran sangsi
Ketika dia pergi ingin sekali kembali
Dalam bait kedua tersebut “Harapharap cemas akan kesetiaan itu, Seorang kekasih berdiri diatas duriduri” menjelaskan bahwa rasa cemas itu sebenarnya harus ada dalam suatu hubungan, apalagi ucapan “setia”, itu memang harus benar-benar diwaspadai. Jangan mudah percaya atas kata-kata “Setia” tersebut. Seseorang dapat berdiri diatas duri-duri atau seseorang dapat merasakan sebuah rasa sakit hati akibat duri-duri penghianatan. “Batinnya berdarahdarah lantaran sangsi, Ketika dia pergi ingin sekali kembali”. Dalam kedua kalimat ini sangat jelas bahwa seseorang yang telah dihukum oleh perasaannya sendiri karena sebuah kesalahan yang telah dia lakukan, yaitu sebuah penghianatan. Terkadang rasa itu sangat bisa dirasakan saat seseorang yang telah menghianati kekasihnya tersebut mempunyai rasa kembali kepada kekasihnya yang telah dihianati tersebut. Keeterkaitan “sebab-akibat” juga tergambar di dalam bait ini. Seseorang yang mendapat “sangsi” yaitu merasakan jatuh cinta kembali kepada kekasihnya akibat kepergiannya / menghianati kekasihnya sendiri.
(3)   Tetapi
Ditarikmenarik
Antara rindu
Dan panas api
Dalam bait ketiga ini “Tetapi, Ditarikmenarik, Antara rindu, Dan panas api”. Menjelaskan bahwa adanya perasaan bimbang antara rindu dan cemburu. Keterkaitan “sebab-akibat” sangat tergambar jelas pada bait ini. “panas api” / cemburu mngakibatkan suatu perasaan “rindu” yang mendalam.
a.      Analisis Sajak Kesetiaan Berdasarkan Teori Simbol
(1)   Embun pagi
Dalam sajak ini, embun pagi muncul pada kalimat pertama bait pertama. menyimbolkan sebuah kesejukan. “Kesetiaan itu seperti embunpagi hari yang”. Embun pagi menggambarkan sebuah suasana hati yang sangat sejuk karena sebuah kesetiaan. Apabila kita bisa merasakan kesejukan itu, “Hati yang tidak waswas terkhianati kekasih yang, Gatal digarukgaruk oleh sepi” yaitu kita tidak perlu was-was terhadap suatu hubungan, karena insyaallah tidak akan merasakan dihianati. Keterkaitan “sebab-akibat” tergambar jelas pada kata “embun pagi” tersebut. Embun pagi mengakibatkan warna pada wajah, yaitu kesejukan karena setia akan membuat kita merasa bahagia.
(2)   Sepi
Kata “sepi” muncul pada kalimat ke empat bait pertama. Dalam konteks kalimat “Gatal digarukgaruk oleh sepi” menyimbolkan sebuah perasaan yang hambar. Tetapi perasaan hambar tersebut dapat diatasi karena perasaan yang setia. Hatipun tidak akan hambar karena kesejukan sebuah “embun pagi” atau sebuah kesejukan yang di ciptakan oleh suatu perasaan. Tetapi “sepi” sendiri juga mengakibatkan suatu penghianatan perasaan yang mengakibatkan tertancapnya sebuah “duriduri” di dalam hati atau lebih jelasnya adalah sebuah sakit hati.
(3)   Duriduri
Kata “duriduri” muncul pada kalimat kedua bait kedua. Dalam konteks kalimat “Seorang kekasih berdiri diatas duriduri” menyimbolkan sebuah kesakitan yang luar biasa karena tertancapnya “duriduri” luka. Sebenarnya “duri” sendiri menyimbolkan rasa sakit hati. Jadi, memang kita harus sedikit mempunyai rasa khawatir terhadap suatu kesetiaan. Karena apabila kita terlalu percaya, maka bisa saja terjadi suatu penghianatan yang mengakibatkan “duriduri” luka tertancap pada hati kita (sebab-akibat).
(4)   Darah
Kata “darah” muncul pada kalimat ketiga bait kedua. Dalam konteks kalimat “Batinnya berdarahdarah lantaran sangsi” menyimbolkan sakit hati seperti luka yang berdarah. Dapat kita bayangkan betapa sakitnya suatu luka yang mengeluarkan darah. Karena sebuah luka penghianatan suatu hubungan perasaan, perasaan kita dapat sakit sekali seperti luka yang mengeluarkan darah (sebab-akibat).
(5)   Sangsi
Kata “sangsi” muncul pada kalimat ketiga bait kedua. Dalam konteks kalimat “Batinnya berdarahdarah lantaran sangsi” menyimbolkan suatu hukuman karena kesalahan seseorang itu sendiri. Kata “sangsi” disini sebenarnya bermakna Hukuman. Hukuman tersebut biasanya akan sangat dirasakan seseorang apabila seseorang tersebut merasakan jatuh cinta kembali kepada pasangannya yang telah dihianati. Biasanya hukuman itu berwujud penyesalan. Karena ulah seseorang yang berkhianat atas perasaan/kesetiaan orang lain, mengakibatkan suatu penyesalan yang di simbolkan dengan kata “sangsi” (sebab-akibat).
(6)   Api
Kata “api” muncul pada kalimat keempat bait ketiga. Dalam konteks kalimat “Dan panas api”, “api” sendiri menyimbolkan sebuah rasa cemburu. Dalam bait ketiga tergambar jelas bahwa seseorang merasa bimbang karena perasaannya “ditarikmenarik” antara perasaan cemburu dan rindu. Dalam bait kedua dan ketiga, kecemburuan sendiri diakibatkan karena ulah seseorang tersebut menghianati sebuah perasaan. Biasanya, kecemburuan seseorang akan mengakibatkan orang tersebut merasa rindu (sebab-akibat).
b.      Konsep mistisisme “Kesetiaan” dalam sajak Kesetiaan Karya Abdul Wachid B.S.
Makna “kesetian” dalam sajak Kesetiaan karya Abdul Wachid B.S. adalah sebuah perasan yang pasti, baik, bertanggung jawab terhadap sebuah perasaan, mampu selalu berkomitmen atas apa yang telah kita ikhrarkan terhadap perasaan seseorang. Kesetiaan sendiri biasanya akam hilang karena sebuah perasaan yang hambar, perasaan yang sepi, perasaan yang selalu tidak imbang antara sepasang kekasih. Kesetian sendiri biasanya akan berupa tersirat, muncul ketika sepasang kekasih tersebut saling percaya, mempunyai komiten dan tujuan yang sama, dan mampu mengimbangi dan mengerti perbedaan, strata sosial, sifat, egoisme, perasaan, dan kekurangan satu sama lain. Apabila semua itu tidak dapat dijalankan, maka niscaya semua akan rusak, akan merasa bosan, dan penghianatan pun akan datang secara perlahan.
BAB II
KESIMPULAN

            Di dalam sajak “cincin” karya Abdul Wachid B.S menceritakan tentang kehidupan seseorang ketika berada di Arab dan sedang melaksanakan ibadah haji. Dimana orang tersebut bertawaf mengelilingi Ka’bah sambil berdoa bersama-sama dengan umat Islam yang lain pada waktu itu guna menemukan kebahagian batin dan kesempurnaan dalam melaksanakan ibadah kepada Allah swt.
Sajak “Kesetiaan” dalam antologi puisi kepayang yang karya Abdul Wachid B.S. menunjukkan bahwa kesetiaan itu memang suatu tantangan. Kesetiaan tidak dapat diukur dengan harga, karena itu menyangkut pada perasaan seseorang. Di dalam puisi ini, penulis ingin menyampaikan bahwasanya kita harus selalu bertanggung jawab atas perasaan, selalu menjaga komitmen yang sudah diikrarrkan dalam suatu hubungan, saling mengimbangi perasaan satu sama lain, dan saling melengkapi kekurangan satu sama lain. Dari keseluruhan analisis, kesetiaan dan penghianatan saling berketerkaitan “sebab-akibat”. Kesetiaan yang terasa hambar akan mengakibatkan suatu penghianatan, dan apabila penghianatan itu muncul dalam suatu hubungan, maka biasanya akan muncul suatu penyesalan. Maka niscaya apabila suatu kesetiaan itu dikhianati, insyaalah seseorang akan menyesal nantinya pada kemudian hari.
Antalogi ini tidak hanya berisikan tentang ketuhanan atau cinta saja. Tetapi menyangkut kedua aspek tersebut antara ketuhanan dengan cinta. Lebih dalam lagi penulis dalam beberapa puisinya menggabungkan keduanya, mencintai Tuhannya dan mencintai sesama manusia. Timbal balik antara Tuhan dan manusia yang saling menyayangi, manusia melampiaskannya mealui beribadah kepada-Nya, sedangkan Tuhan melalui rahmat-Nya kepada manusia.

DAFTAR PUSTAKA
Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada  University Press.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2010. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
UAD. 2012. Pedoman Penyusunan Puisi. Yogyakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Ahmad Dahlan.
Kurniawan, Heru. 2011. Mistisisme Cahaya. Purwokerto : STAIN Purwokerto Press.
Wachid B.S., Abdul. 2012. Kepayang. Yogyakarta: Cinta Buku.
Catatan Kuliah Teori Sastra Semester Empat. 2012. Yogyakarta:
            Universitas Ahmad Dahlan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TUGAS KELAS X BAHASA INDONESIA WAJIB (SMATAQ)

Dalam upaya untuk tetap melaksanakan kegiatan belajar mengajar di SMA Takhassus Al-Qur'an via daring, maka berikut tugas untuk kelas X b...