Lelaki
muda yang buta karena Cahya. Dia menyusuri lorong-lorong kampus. Menyaksikan
setiap jengkal misterinya. Lagi-lagi Cahya. Di pelupuk mata lelaki muda itu.
Suasana pekat. Pikirnya Kalut. Cahya beranjak pergi. Hanya sebentar singgah
dalam relung jiwa. Di sudut kampus yang temaram. Dia terlilit rasa penasaran
yang tinggi.
Suasana
riuh sepanjang pencarian. Bawaannya memang tak bisa tenang lagi. Berulang naik
turun anak tangga. Hilir mudik manusia. Tak bertegur sapa. Aku membiarkannya.
Tak sepatah kata kuucapkan padanya.
“Dimana
Cahya?” gerutunya.
Ruang-ruang
kampus selalu kosong. Seperti ruang dalam pikirnya sebelum dia melihat Cahya.
“Sial,
gila kamu!”. Tak ada Cahya. Dia mengintip setiap ruang kelas.
Hatinya
benar-benar menjadi gelap. Cahya. Dia duduk risau. Dilepaslah topi abu-abunya.
Peluh bercucur sampai dagu. Menginjak waktu yang mulai senja. Lampu-lampu
menyala.
“Sepertinya
aku mulai buta” katanya.
Suara
tokek menggema di sudut-sudut lorong. Tenggorokannya semusim kemarau. Tubuhnya
menggeliat. “Tuhan” keluhnya. Adzan mulai berkumandang. Memanggil-manggil jiwa
yang lupa. Sementara hati dan pikirnya sudah mulai letih. Dia beranjak dari
tempat duduknya. Dari tempat yang sudah mulai sunyi.
***
Bianglala menjelma
selendang, dan menamai dirinya sendiri ha.
Sesuatu yang berada di tengah. Pantas saja dia begitu gila. Mabuk. Hidupnya
tak tenang. Ibadah tak khusyuk. Kekosongan selama ini menjerat hidupnya. Resah,
setiap langkah yang dia pijakkan. Harap-harap cemas. Detik jam terus menjamah
sudut-sudut kamar. Tik tok menampar pikriannya. Dia mencoba keluar dari kalut.
“Ah, aku tak bisa lupa”
Dilemparkannya bantal
pada dinding kamarnya. Gemercik hujan mengetuk kaca jendelanya lalu leleh pada vas
bunga. Baunya merangkaki tirai. Menuju muara pada hidung bengis lelaki muda
itu. Nafasnya memburu. Terengah, terpacu waktu yang semakin lama membuatnya semakin
gila. Stiker dinding bernuansa Paris. Lukisan-lukisan berjajar menghias
kamarnya. Buku-buku lusuh tanpa debu tertata rapi di rak kayu. Lampu belajarnya
tak pernah mau mati. Cahayanya menari di langit-langit kamar.
Dia berbisik pada
guling yang didekapnya.
“Menurutmu bagaimana
dengan dia?”
***