Selasa, 19 Agustus 2014

MENDAYU


Mendayu

tak satupun bersua
guratan tanda pada cakrawala
menyudut dalam diam, sebab kata mengabur
menjelaga pada dinding senja

wahai
rindu yang mengusik senyapku
yang enggan beranjak
dari ketidaksadaran, dan ketidakwarasan

kini, apa yang mesti kunyanyikan
sedang petang membisu, dan kau
melebur dalam denyut nadiku
rindu enyahlah, pilu melagu

Yogyakarta, 4 Juli 2014
Jejak Imaji

Sajak Ardy Suryantoko

SOL SEPATU SENJA



Kemarin, malam mulai mengintip pada kaki-kaki langit. Senja yang ranum mempertemukanku dengan sosok lelaki tua. Dengan sepeda jengki hitam dan topi koboi yang hitam pula tentunya. Dia mengelilingi yogya sejak berpuluh tahun lalu, menjajakan keahlian sol sepatu kepada siapa saja. Tidak terkecuali denganku.
Sebelum itu, aku melihat ujung belakang sepeda yang berisikan tas hitam, isinya perlengkapan sol sepatu dan minuman, mungkin. Begitu goyah pijakan kaki pada pedal sepeda tuanya. Begitu pelan, ya karena memang usianya sudah tidak muda.

Sabtu, 16 Agustus 2014

PADA DERMAGA



Sajak Ardy Suryantoko

Pada Dermaga
ada yang hilang
saat hujan menampar jasad kosong
melarungkan pada sungaisungai kecil
yang muara hingga samudra jiwa
menggenang bayang, hampa
keruh airnya

tak cukup sampan dayung
mengarungi luasnya yang
tanpa batas, penuh riak dan ombak
serta badai yang mencakar
langit dengan kilat halilintar

ini sampan tanpa layar
yang mengarungi samudranya
mencari dermaga untuk berlabuh
dengan bekal jiwa yang menipis
termakan deras waktu

buihbuih seperti batu terapung
menyandung setiap laju
terjal lembah antara ombakombak
deru badai mengguncang
amuknya melalap, mengunyah
mentahmentah setiap jengkal ruhnya

bertubi badai berganti
semakin dekat dermaga
yang selama ini dituju
berlabuh kembali

Yogyakarta, 22 Juni 2014
Jejak Imaji

KUPUKUPU



Sajak Ardy Suryantoko

Kupukupu
: E

gerimis agustus
kau kepakkan sayap, meninggalkan
senja yang ranum
putik-putik kau buat layu sendu

di sebuah kebun
sekar tak lagi mekar
nektar tak memabukkan
dan membasahi dahaga nafsumu

Yogyakarta, 2 Juli 2014
Jejak Imaji

Kamis, 14 Agustus 2014

CAHAYA CAHYA



Lelaki muda yang buta karena Cahya. Dia menyusuri lorong-lorong kampus. Menyaksikan setiap jengkal misterinya. Lagi-lagi Cahya. Di pelupuk mata lelaki muda itu. Suasana pekat. Pikirnya Kalut. Cahya beranjak pergi. Hanya sebentar singgah dalam relung jiwa. Di sudut kampus yang temaram. Dia terlilit rasa penasaran yang tinggi.
Suasana riuh sepanjang pencarian. Bawaannya memang tak bisa tenang lagi. Berulang naik turun anak tangga. Hilir mudik manusia. Tak bertegur sapa. Aku membiarkannya. Tak sepatah kata kuucapkan padanya.
“Dimana Cahya?” gerutunya.
Ruang-ruang kampus selalu kosong. Seperti ruang dalam pikirnya sebelum dia melihat Cahya.
“Sial, gila kamu!”. Tak ada Cahya. Dia mengintip setiap ruang kelas.
Hatinya benar-benar menjadi gelap. Cahya. Dia duduk risau. Dilepaslah topi abu-abunya. Peluh bercucur sampai dagu. Menginjak waktu yang mulai senja. Lampu-lampu menyala.
“Sepertinya aku mulai buta” katanya.
Suara tokek menggema di sudut-sudut lorong. Tenggorokannya semusim kemarau. Tubuhnya menggeliat. “Tuhan” keluhnya. Adzan mulai berkumandang. Memanggil-manggil jiwa yang lupa. Sementara hati dan pikirnya sudah mulai letih. Dia beranjak dari tempat duduknya. Dari tempat yang sudah mulai sunyi.
***
Bianglala menjelma selendang, dan menamai dirinya sendiri ha. Sesuatu yang berada di tengah. Pantas saja dia begitu gila. Mabuk. Hidupnya tak tenang. Ibadah tak khusyuk. Kekosongan selama ini menjerat hidupnya. Resah, setiap langkah yang dia pijakkan. Harap-harap cemas. Detik jam terus menjamah sudut-sudut kamar. Tik tok menampar pikriannya. Dia mencoba keluar dari kalut.
“Ah, aku tak bisa lupa”
Dilemparkannya bantal pada dinding kamarnya. Gemercik hujan mengetuk kaca jendelanya lalu leleh pada vas bunga. Baunya merangkaki tirai. Menuju muara pada hidung bengis lelaki muda itu. Nafasnya memburu. Terengah, terpacu waktu yang semakin lama membuatnya semakin gila. Stiker dinding bernuansa Paris. Lukisan-lukisan berjajar menghias kamarnya. Buku-buku lusuh tanpa debu tertata rapi di rak kayu. Lampu belajarnya tak pernah mau mati. Cahayanya menari di langit-langit kamar.
Dia berbisik pada guling yang didekapnya.
“Menurutmu bagaimana dengan dia?”
***

Rabu, 13 Agustus 2014

Sajak Ardy Suryantoko: AULIA



tak ada yang tahu pada setiap waktu lalu
jamuan tuhan tentang semesta alam yang binal
bayu mengoyak sukma penuh nafsu fana manusia
angkara tertahan pada jiwa-jiwa pilihannya

di batas cakrawala ombak berpacu menuju pesisir
sedang senja semburat dari laut bisu
tak sua wajahmu kasih di antara
igauan pasir-pasir yang berdesir

dalam diam, kata nurani menggurat
pada karang-karang yang melapuk
dan ketaksadaran larungkan kesendirian
sejak hari kemarin

aulia, kekasih asih
rembulan sudah menjelma separuh parasmu, lalu
mengharu biru saat gelap menjerat
menengkari habisnya waktu yang merindu
hadirmu di beranda malam

wonosobo, 23 juli 2014
Jejak imaji

CONTOH RPP TEKS NEGOSIASI (SMA)

SILAHKAN LINK BISA DIUNDUH DI SINI.