Kongres Gunung, Kutabawa
Purbalingga, 14 Desember 2016
Jalan dan Lagu
yang Bertolak
Begitu deru
mesin pecahkan sunyi malam, waktu tiba-tiba melesat cepat. Jalan lurus atau
kelokan mendadak mesra dengan dingin selama perjalanan. Gerimis selalu
mempercepat atau melambatkan keinginan untuk sampai pada tujuan. Sebelum itu,
kendaraan tiba-tiba melambatkan lajunya. Benar saja, jalanan penuh lubang dan
digenangi air. Tak terasa hampir satu jam menghabiskan waktu untuk menikmati
lubang dan kubangan air, tentu saja tak sedalam kenangan masa lalu. Hanya saja
lebih menyakitkan jika harus terlambat karena sebuah lubang yang terus menganak
pinak.
Roda menapak
pada batas kota selanjutnya. Kali ini tak ada lagi gerimis, hanya sebuah kota
di lereng gunung Slamet yang menciptakan malam dan sepinya sendiri. Tak ada di
antara kami yang mengetahui pasti tempat akan berlangsungnya acara. Tak ada
siapapun bagi kami untuk bertanya sebuah alamat. Selain GPS memang tidak ada
hal yang pasti, seperti mengharap cinta dari seseorang yang sudah memiliki
belahan hatinya sendiri.
Kantuk mulai
meraba-raba, sengaja kaca pintu kendaraan dibiarkan terbuka. Tentu saja dingin
angin akan menjadi obat yang lebih mujarat daripada kopi panas yang masih
mengepulkan asap dan wanginya. Hening. Jalan mulai menanjak, beberapa lagu
lawas menemani kesepian kami. Mulai dari Koes Plus, Panbers, Desi Ratnasari,
Nike Ardila, Stinky, Westlife, Hellowen, Aero Smith dan dua lagu Malaysia
berjudul “Gerimis Mengundang” (Slam) serta “Mencari Alasan” (Exist). Di
sela-sela tempo yang sedang aduhai landainya, tiba-tiba kantuk benar-benar
hilang karena sebuah soundtrack dari
film lawas Wiro Sableng. Kali ini kami tertawa, dan ikut nge-rap. Dari
keseluruhan lirik lagu hanya bagian “Dia
selengekkan tapi cinta damai” yang begitu menancap di kepala. Begitulah mbah
Wiro Sableng, semoga engkau dan kapak 212 selalu menjadi bagian dari kedamaian
hati para pencintamu.
Kabut tak begitu
pekat di lereng gunung Slamet, tapi sunyi begitu memikat. Meskipun tak begitu
terang, bulan menjadi salah satu penerang lain selain lampu kendaraan tentunya.
Dari kejauhan pohon-pohon kesepian, daun-daun gigil, sementara kami gemetar
karena alamat belum terlihat. Tanaman di ladang tak begitu jelas terlihat, di
sepanjang perjalanan hanya terpampang baliho baik kecil maupun besar
bertuliskan “Kebun Strawberry”. Syukurlah masih ada tanaman, daripada tidak
sama sekali.
Pencarian alamat
terpaksa kami sudahi tepat di pergantian hari, di waktu tempuh perjalanan tiga
jam dari kota Wonosobo. Rumah berukuran sedang, atau kira-kira M jika disamakan
dengan ukuran cinta yang bertepuk sebelah tangan. Kami putuskan untuk memarkir
kendaraan, dan beranjak masuk ke rumah mengisi kehangatan yang masih kosong.
Pagi
dan Lereng Slamet yang Asri
Tiba-tiba
pagi sudah pelangi. Kabut begitu tipis, memisah jarak antar rumah yang hidup
dari dingin. Daun-daun strawberry basah, buah-buah tak luput memerah. Julang
pohon pinus meregang, menghela napas panjang. Menafsir rintik embun yang telah
lama tertidur pada lentik daun-daun nyiur. Gubuk berjajar berpenghuni gembala
petani seperti kambing, sapi, kelinci, bahkan marmut. Rumah-rumah juga banyak
yang kosong menanti kabar kepulangan. Serta beberapa warung kelontong yang
belum ingin dibangunkan mesti beberapa pengunjung datang lebih awal
menginjakkan kaki, atau sekadar duduk-duduk di bangku tepat di seberang warung
tersebut.
Desa
tempat singgah kami bernama Serang dan merupakan salah satu desa wisata. Wahana
wisatanya bernama Lembah Asri. Memang seperti namanya suasana sekitar memang
begitu ari dan masih sangat alami, tak seperti kata-kata dan janji-janjimu.
Terdapat banyak wahana permainan di sini. Pagi itu sebuah mini bus yang disulap
menjadi odong-odong membawa kami dan beberapa peserta kongres gunung yang
merupakan blogger menuju Lembah Asri. Tentu saja kepala desa Serang yang
menuntun kami berjalan-jalan menikmati wisata sebelum acara Kongres Gunung di
lapangan Kutabawa, Purbalingga.
Lelah
berkeliling, derit ayunan telah melebarkan deru angin. Mengikis sepi yang
berangsur naik ke puncak bukit, atau lebih tinggi ke puncak Slamet. Tak begitu
jauh seekor kucing yang kedinginan berjemur sambil menunggu seorang nenek yang
mengais tong sampah mencari sisa-sisa barang yang masih bisa dimanfaatkan, baik
secara wujud maupun materi. Kami yakin, kucing itu juga kelaparan. Seperti kau
kan, yang lapar akan rindu.
Matahari
meninggi. Harap makin mengendap. Kami bergegas kembali ke tempat singgah, untuk
mengisi perut yang sudah rindu nasi dan kopi. Serta membersihkan diri di kamar
mandi dari kotoran dan masa lalu yang mestinya sudah tidak perlu diingat lagi.
Sebuah mini bus, kali ini benar-benar mini bus bukan odong-odong sudah
memanaskan mesin dan menunggu dengan tabah. Tak berselang lama setelah berdoa,
mini bus dan kami menyatu. Menapaki aspal yang menuju ke desa Kutabawa,
kecamatan Karangreja.
Gunung
Sahabat Manusia
Ah,
lelah dan kantuk akibat perjalanan tak bisa kami hindari. Mini bus telah
berhenti, tentu saja tak ada “teloletnya” karena ini bus ber-plat nomor merah.
Kebayang kan kalau ada teloletnya, “Om telolet om”. Ah sudahlah. Panitia
benar-benar memberikan pelayanan yang sangat ekstra bagi peserta. Buktinya setelah
sampai di tempat tujuan kami disambut begitu meriah, bunyi gamelan menggema
keras melalui banyaknya pengeras suara. Di depan panggung utama ebeg (tari kuda) sedang berlangsung. Tapi
apalah daya, ternyata sambutan tersebut untuk mengiringi kepergian bupati
Purbalingga dan para stafnya. Ternyata kami terlambat. Tak apalah, asalkan kita
tidak terlambat jadian.
Selesai
registrasi, kopi yang berasap-asap dan mendoan memanjakan lidah kami. Maka
nikmat mendoan mana yang kamu dustakan di pagi yang dingin di lereng Slamet dan
kamu masih sendiri? Masihkah berharap pada cinta yang semu, yang pasti-pasti
saja seperti kasih kepada gunung karena “Gunung Sahabat Manusia”. Mengangkat
tema “Gunung Sahabat Manusia” dengan sub judul “Masa Depan Gunung, dalam
Pengelolaan Gunung sebagai Ancaman dan Sumber Kemakmuran Manusia”. Acara yang
berlangsung di lapangan Kutabawa, Purbalingga berlangsung dengan sangat
khidmat. Buktinya peserta yang cukup banyak sangat menikmati dingin dan kabut
yang datang pergi sesuka diri.
Di
dalam jadwal tertera ada tiga pembicara yang mengisi acara, yaitu Prof. Dr. Sutikno
Bronto, Dr. Endah, dan Ahmad Tohari. Tetapi sampai selesai jadwal yang
ditentukan hanya dua pembicara yang mengisi. Bagi saya sendiri yang penting
bisa bertemu dengan novelis Ahmad Tohari. Cukup. Kamu nanti saja. Prof. Dr.
Sutikno Broto membahas tentang data dan fakta pemanfaatan sumber daya alam dan
mitigasi potensi bencana (panas bumi, tambang pasir dan batu, air bersih,
letusan, gas beracun, gerakan tanah, banjir, dll). Ahmad Tohari berangkat dari
sudut pandang budaya berbicara mengenai data dan fakta budaya gunungapi
(komunitas gunungapi, budaya, adat, kearifan lokal, perundang-undangan, dll).
Sementara Dr. Endah yang seharusnya mengisi tentang pandangan Hayati entah
tidak hadir atau kami yang terlambat tentunya di antara kita tidak ada
perjumpaan.
Gunung
merupakan sahabat manusia. “Jangan lupa berterimakasih kepada gunung” begitu
yang disampaikan oleh Ahmad Tohari. Jangan ada antara di antara kita dan
gunung, mestinya seperti itu. Menjelang senja, kabut merangkak turun, hujan
berangsur deras, tak lupa angin sebagai pelengkap di musim bulan Desember.
Angin berderu melalui celah-celah tenda yang kami gunakan untuk kongres gunung.
Begitu pun air, ah ia tak hanya masuk tenda, tapi juga memaksa beberapa dari
kami mengeringkan baju atau celana. Dan sialnya memang tidak ada cara untuk
mengeringkan yang telah basah. Begitukan katamu dulu waktu kau rindu setengah
sadar? Sementara kabut memang lebih kurang ajar, panggung yang hanya berjarak
kurang lebih sepuluh meter dari tenda saja sudah tidak terlihat. Bagaimana
denganmu yang jauh di kota sana? Bagaimana dengan gunung yang jauh dari hati
yang dipenuhi kabut? Murnikanlah hati untuk gunung. Di tengah-tengah manusia
urban (kota) yang suka menganggap anak gunung sebagi anak kampungan, ternyata
mereka malah pergi ke gunung dan bergaul dengan anak gunung. Iseng-iseng mau
menaklukan gunung. Gunung saja tidak bergerak dan tidak melawan kok mau ditaklukan. Sebut saja generasi
urban yang kekinian dan kedisinian kalau sudah naik banyak gunung untuk
ditaklukan bisa menjadi dewa. Dewa 19 saja masih santai yang sudah lama sudah
tidak konser.
Menimang dan
menilik kembali esensi dari pendaikan gunung perlu ditinjau kembali ke hati
masing-masing. Gunung sejatinya merupakan tempat sakral dan bukan untuk
bermain-main. Adanya gunung juga merupakan sebuah pertanda adanya kehidupan,
terciptanya dataran tinggi dan dataran rendah mampu mengubah uap air yang
dibawa angin mengarah ke atas yang bersuhu dingin dan menjadikannya hujan.
Ketika air hujan turun maka akan diserap oleh tanah, bisa menjadi mata air
ataupun menjadi sungai. Dengan demikian gunung ikut mencipta perputaran air.
Masih ingatkah dengan berita atau isu Uni Emirat Arab akan membuat sebuah
gunung setelah membuat danau. Tentu begitu penting peran gunung, sampai-sampai
sengaja mau dibuat. Lantas bagaimana dengan Indonesia yang memiliki banyak
sekali gunung. Kembali mencintai gunung sebagai sahabat manusia, atau kau harus
mencintai diri terlebih dahulu sebelum mencintaiku.
Deklarasi
Gunung Slamet
Cuaca masih tak menentu di senja
lereng Slamet. Ebeg masih terus
berlanjut yang dimulai sejak pagi. Sementara keadaan kongres gunung semakin
menghangat di sela-sela dingin yang manikam. Setelah sidang pleno dengan para
pembicara, dilanjutkan pada sidang komisi. Ada dua tema besar yang dibahas,
yaitu “Pemanfaatan Sumber Daya Alam” dan “Mitigasi Bencana”. Menjelang petang
sidang komisi dan pemaparannya baru selesai. Hujan masih berlanjut, agenda
acara juga mesti dilanjutkan. Rabu malam 14 Desember bertepatan dengan final
Piala AFF Suzuki Cup antara Indonesia vs Thailand.
Siapa yang tidak gelisah, barangkali memang tidak ada mengingat Indonesia sudah
lima kali menjadi runner up pada
kejuaraan ini.
Penyusunan
pun diakhiri bertepatan dengan kemenangan Indonesia atas Thailand. Deklarasi
Gunung Slamet dibacakan pada suhu sekitar 15 derajat celcius. Tetapi tak
menyulutkan semangat dan api yang berkobar bagi para pecinta gunung.
Deklarasi Gunung Slamet
Sebagai perwujudan sikap dan gerak
laku gunungapi, kami masyarakat gunung api menyatakan;
1.
Gunungapi
sebagai rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa
2.
Berupaya
mewujudkan dan menjaga keharmonisan serta kelestarian kehidupan di gunungapi
3.
Mengoptimalkan
kemanfaatan gunung api untuk kemakmuran kehidupan sesuai asas keamanan dan
kelestarian
4.
Guyub,
bahu-membahu, bekerja sama untuk hidup dan menghidupkan lingkungan gunung api.
Purbalingga, 14
Desember 2016
Kongres
Gunungapi
Kemenangan
Indonesia atas Thailand tentu saja dibarengi oleh kemenangan kongres gunung
yang menghasilkan Kongres Gunung Slamet. Hasil dari kongres gunung ini akan
menjadi saran dan masukan kepada instansi terkait agar bisa terwujud
undang-undang (UU) tentang gunungapi. Lelah dan kantuk tiba-tiba menyengat,
tetapi beberapa kawan masih bersemangat dengan senyum yang begitu bahagia. Entah
senyum karena berakhirnya acara atau senyum karena adanya Deklarasi Gunung
Slamet. Tentu saja, senyum kami dari para blogger adalah senyum karena bisa
menjadi bagian dari kongres gunung. Gerimis masih begitu manis, lagi-lagi
mendoan dengan sambal kecap manis melambai-lambai. Sebut saja kami relawan
mendoan, dan relawan gunung yang menjadi saksi terbentuknya Deklarasi Gunung
Slamet. Demi mendoan dan gunung api, kami siap menjadi saksi. Sah!
Kepulangan
dan Lagu yang Diam
Tiba
bagi malam kembali, tak ada bulan malam itu. Hanya kepulangan yang masih
menjadi misteri. Keinginan untuk tinggal lebih lama tak bisa semena-mena kami
kukuhkan. Karena esok masih ada yang perlu kami kerjakan, semisal mengulang
pekerjaan yang sama untuk anak isteri, atau bisa untuk tabungan menikah, bisa
juga untuk mencari bahan skripsi. Sudah barang pasti pilihan terbaik adalah
tidur untuk melepas penat dan lelah, tetapi kendaraan telah dihidupkan. Tak ada
yang bisa mengelak dari kepulangan yang akan lebih melelahkan dari keberangkatan.
Beranjak turun kabut kian pekat, jarak pandang hanya tiga sampai lima meter.
Lagu-lagu mulai diputar lagi, menina bobokan kami yang haus mimpi. Tentu saja
lagu pertama milik Koes Plus “Why do you
love me?”. Kenapa kau mencintaiku? Kenapa aku harus mencintaimu? Kenapa
kita harus mencintai gunung? Tanyakan jawabnya pada hati masing-masing saja.
Tak begitu lama,
kami terdiam memikirkan cara agar bisa tulus mencintai gunung, seperti tulus
mencintai isteri atau pacar atau bahkan skripsi. Kami pulang, lagu seolah diam.
Hanya hati yang menyanyikan lagu kepulangan penuh cinta kasih. Lagu-lagu yang
dinyanyikan gunung dari kesepiannya untuk seluruh makhluk.
Wonosobo, 21 Desember 2016
Ardy Suryantoko
Ardy Suryantoko, lahir di Wonosobo 19 Desember 1992. Alumni Universitas Ahmad Dahlan
Yogyakarta, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Bergiat di
kelompok belajar sastra Jejak Imaji (Yogyakarta) dan Komunitas
Sastra Bimalukar (Wonosobo). Selain itu juga menjadi blogger
angin-anginan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar