Kamis, 09 Maret 2017

SEBUAH CATATAN PERJALANAN YANG DIPENUHI SUARA DARI SEPI

Kongres Gunung, Kutabawa
Purbalingga, 14 Desember 2016


Jalan dan Lagu yang Bertolak

Begitu deru mesin pecahkan sunyi malam, waktu tiba-tiba melesat cepat. Jalan lurus atau kelokan mendadak mesra dengan dingin selama perjalanan. Gerimis selalu mempercepat atau melambatkan keinginan untuk sampai pada tujuan. Sebelum itu, kendaraan tiba-tiba melambatkan lajunya. Benar saja, jalanan penuh lubang dan digenangi air. Tak terasa hampir satu jam menghabiskan waktu untuk menikmati lubang dan kubangan air, tentu saja tak sedalam kenangan masa lalu. Hanya saja lebih menyakitkan jika harus terlambat karena sebuah lubang yang terus menganak pinak.
Roda menapak pada batas kota selanjutnya. Kali ini tak ada lagi gerimis, hanya sebuah kota di lereng gunung Slamet yang menciptakan malam dan sepinya sendiri. Tak ada di antara kami yang mengetahui pasti tempat akan berlangsungnya acara. Tak ada siapapun bagi kami untuk bertanya sebuah alamat. Selain GPS memang tidak ada hal yang pasti, seperti mengharap cinta dari seseorang yang sudah memiliki belahan hatinya sendiri.

Kantuk mulai meraba-raba, sengaja kaca pintu kendaraan dibiarkan terbuka. Tentu saja dingin angin akan menjadi obat yang lebih mujarat daripada kopi panas yang masih mengepulkan asap dan wanginya. Hening. Jalan mulai menanjak, beberapa lagu lawas menemani kesepian kami. Mulai dari Koes Plus, Panbers, Desi Ratnasari, Nike Ardila, Stinky, Westlife, Hellowen, Aero Smith dan dua lagu Malaysia berjudul “Gerimis Mengundang” (Slam) serta “Mencari Alasan” (Exist). Di sela-sela tempo yang sedang aduhai landainya, tiba-tiba kantuk benar-benar hilang karena sebuah soundtrack dari film lawas Wiro Sableng. Kali ini kami tertawa, dan ikut nge-rap. Dari keseluruhan lirik lagu hanya bagian “Dia selengekkan tapi cinta damai” yang begitu menancap di kepala. Begitulah mbah Wiro Sableng, semoga engkau dan kapak 212 selalu menjadi bagian dari kedamaian hati para pencintamu.
Kabut tak begitu pekat di lereng gunung Slamet, tapi sunyi begitu memikat. Meskipun tak begitu terang, bulan menjadi salah satu penerang lain selain lampu kendaraan tentunya. Dari kejauhan pohon-pohon kesepian, daun-daun gigil, sementara kami gemetar karena alamat belum terlihat. Tanaman di ladang tak begitu jelas terlihat, di sepanjang perjalanan hanya terpampang baliho baik kecil maupun besar bertuliskan “Kebun Strawberry”. Syukurlah masih ada tanaman, daripada tidak sama sekali.
Pencarian alamat terpaksa kami sudahi tepat di pergantian hari, di waktu tempuh perjalanan tiga jam dari kota Wonosobo. Rumah berukuran sedang, atau kira-kira M jika disamakan dengan ukuran cinta yang bertepuk sebelah tangan. Kami putuskan untuk memarkir kendaraan, dan beranjak masuk ke rumah mengisi kehangatan yang masih kosong.

Pagi dan Lereng Slamet yang Asri

            Tiba-tiba pagi sudah pelangi. Kabut begitu tipis, memisah jarak antar rumah yang hidup dari dingin. Daun-daun strawberry basah, buah-buah tak luput memerah. Julang pohon pinus meregang, menghela napas panjang. Menafsir rintik embun yang telah lama tertidur pada lentik daun-daun nyiur. Gubuk berjajar berpenghuni gembala petani seperti kambing, sapi, kelinci, bahkan marmut. Rumah-rumah juga banyak yang kosong menanti kabar kepulangan. Serta beberapa warung kelontong yang belum ingin dibangunkan mesti beberapa pengunjung datang lebih awal menginjakkan kaki, atau sekadar duduk-duduk di bangku tepat di seberang warung tersebut.
            Desa tempat singgah kami bernama Serang dan merupakan salah satu desa wisata. Wahana wisatanya bernama Lembah Asri. Memang seperti namanya suasana sekitar memang begitu ari dan masih sangat alami, tak seperti kata-kata dan janji-janjimu. Terdapat banyak wahana permainan di sini. Pagi itu sebuah mini bus yang disulap menjadi odong-odong membawa kami dan beberapa peserta kongres gunung yang merupakan blogger menuju Lembah Asri. Tentu saja kepala desa Serang yang menuntun kami berjalan-jalan menikmati wisata sebelum acara Kongres Gunung di lapangan Kutabawa, Purbalingga.
            Lelah berkeliling, derit ayunan telah melebarkan deru angin. Mengikis sepi yang berangsur naik ke puncak bukit, atau lebih tinggi ke puncak Slamet. Tak begitu jauh seekor kucing yang kedinginan berjemur sambil menunggu seorang nenek yang mengais tong sampah mencari sisa-sisa barang yang masih bisa dimanfaatkan, baik secara wujud maupun materi. Kami yakin, kucing itu juga kelaparan. Seperti kau kan, yang lapar akan rindu.
            Matahari meninggi. Harap makin mengendap. Kami bergegas kembali ke tempat singgah, untuk mengisi perut yang sudah rindu nasi dan kopi. Serta membersihkan diri di kamar mandi dari kotoran dan masa lalu yang mestinya sudah tidak perlu diingat lagi. Sebuah mini bus, kali ini benar-benar mini bus bukan odong-odong sudah memanaskan mesin dan menunggu dengan tabah. Tak berselang lama setelah berdoa, mini bus dan kami menyatu. Menapaki aspal yang menuju ke desa Kutabawa, kecamatan Karangreja.

Gunung Sahabat Manusia
           
            Ah, lelah dan kantuk akibat perjalanan tak bisa kami hindari. Mini bus telah berhenti, tentu saja tak ada “teloletnya” karena ini bus ber-plat nomor merah. Kebayang kan kalau ada teloletnya, “Om telolet om”. Ah sudahlah. Panitia benar-benar memberikan pelayanan yang sangat ekstra bagi peserta. Buktinya setelah sampai di tempat tujuan kami disambut begitu meriah, bunyi gamelan menggema keras melalui banyaknya pengeras suara. Di depan panggung utama ebeg (tari kuda) sedang berlangsung. Tapi apalah daya, ternyata sambutan tersebut untuk mengiringi kepergian bupati Purbalingga dan para stafnya. Ternyata kami terlambat. Tak apalah, asalkan kita tidak terlambat jadian.
            Selesai registrasi, kopi yang berasap-asap dan mendoan memanjakan lidah kami. Maka nikmat mendoan mana yang kamu dustakan di pagi yang dingin di lereng Slamet dan kamu masih sendiri? Masihkah berharap pada cinta yang semu, yang pasti-pasti saja seperti kasih kepada gunung karena “Gunung Sahabat Manusia”. Mengangkat tema “Gunung Sahabat Manusia” dengan sub judul “Masa Depan Gunung, dalam Pengelolaan Gunung sebagai Ancaman dan Sumber Kemakmuran Manusia”. Acara yang berlangsung di lapangan Kutabawa, Purbalingga berlangsung dengan sangat khidmat. Buktinya peserta yang cukup banyak sangat menikmati dingin dan kabut yang datang pergi sesuka diri.
            Di dalam jadwal tertera ada tiga pembicara yang mengisi acara, yaitu Prof. Dr. Sutikno Bronto, Dr. Endah, dan Ahmad Tohari. Tetapi sampai selesai jadwal yang ditentukan hanya dua pembicara yang mengisi. Bagi saya sendiri yang penting bisa bertemu dengan novelis Ahmad Tohari. Cukup. Kamu nanti saja. Prof. Dr. Sutikno Broto membahas tentang data dan fakta pemanfaatan sumber daya alam dan mitigasi potensi bencana (panas bumi, tambang pasir dan batu, air bersih, letusan, gas beracun, gerakan tanah, banjir, dll). Ahmad Tohari berangkat dari sudut pandang budaya berbicara mengenai data dan fakta budaya gunungapi (komunitas gunungapi, budaya, adat, kearifan lokal, perundang-undangan, dll). Sementara Dr. Endah yang seharusnya mengisi tentang pandangan Hayati entah tidak hadir atau kami yang terlambat tentunya di antara kita tidak ada perjumpaan.

            Gunung merupakan sahabat manusia. “Jangan lupa berterimakasih kepada gunung” begitu yang disampaikan oleh Ahmad Tohari. Jangan ada antara di antara kita dan gunung, mestinya seperti itu. Menjelang senja, kabut merangkak turun, hujan berangsur deras, tak lupa angin sebagai pelengkap di musim bulan Desember. Angin berderu melalui celah-celah tenda yang kami gunakan untuk kongres gunung. Begitu pun air, ah ia tak hanya masuk tenda, tapi juga memaksa beberapa dari kami mengeringkan baju atau celana. Dan sialnya memang tidak ada cara untuk mengeringkan yang telah basah. Begitukan katamu dulu waktu kau rindu setengah sadar? Sementara kabut memang lebih kurang ajar, panggung yang hanya berjarak kurang lebih sepuluh meter dari tenda saja sudah tidak terlihat. Bagaimana denganmu yang jauh di kota sana? Bagaimana dengan gunung yang jauh dari hati yang dipenuhi kabut? Murnikanlah hati untuk gunung. Di tengah-tengah manusia urban (kota) yang suka menganggap anak gunung sebagi anak kampungan, ternyata mereka malah pergi ke gunung dan bergaul dengan anak gunung. Iseng-iseng mau menaklukan gunung. Gunung saja tidak bergerak dan tidak melawan kok mau ditaklukan. Sebut saja generasi urban yang kekinian dan kedisinian kalau sudah naik banyak gunung untuk ditaklukan bisa menjadi dewa. Dewa 19 saja masih santai yang sudah lama sudah tidak konser.
Menimang dan menilik kembali esensi dari pendaikan gunung perlu ditinjau kembali ke hati masing-masing. Gunung sejatinya merupakan tempat sakral dan bukan untuk bermain-main. Adanya gunung juga merupakan sebuah pertanda adanya kehidupan, terciptanya dataran tinggi dan dataran rendah mampu mengubah uap air yang dibawa angin mengarah ke atas yang bersuhu dingin dan menjadikannya hujan. Ketika air hujan turun maka akan diserap oleh tanah, bisa menjadi mata air ataupun menjadi sungai. Dengan demikian gunung ikut mencipta perputaran air. Masih ingatkah dengan berita atau isu Uni Emirat Arab akan membuat sebuah gunung setelah membuat danau. Tentu begitu penting peran gunung, sampai-sampai sengaja mau dibuat. Lantas bagaimana dengan Indonesia yang memiliki banyak sekali gunung. Kembali mencintai gunung sebagai sahabat manusia, atau kau harus mencintai diri terlebih dahulu sebelum mencintaiku.

Deklarasi Gunung Slamet
           
            Cuaca masih tak menentu di senja lereng Slamet. Ebeg masih terus berlanjut yang dimulai sejak pagi. Sementara keadaan kongres gunung semakin menghangat di sela-sela dingin yang manikam. Setelah sidang pleno dengan para pembicara, dilanjutkan pada sidang komisi. Ada dua tema besar yang dibahas, yaitu “Pemanfaatan Sumber Daya Alam” dan “Mitigasi Bencana”. Menjelang petang sidang komisi dan pemaparannya baru selesai. Hujan masih berlanjut, agenda acara juga mesti dilanjutkan. Rabu malam 14 Desember bertepatan dengan final Piala AFF Suzuki Cup antara Indonesia vs Thailand. Siapa yang tidak gelisah, barangkali memang tidak ada mengingat Indonesia sudah lima kali menjadi runner up pada kejuaraan ini.
            Penyusunan pun diakhiri bertepatan dengan kemenangan Indonesia atas Thailand. Deklarasi Gunung Slamet dibacakan pada suhu sekitar 15 derajat celcius. Tetapi tak menyulutkan semangat dan api yang berkobar bagi para pecinta gunung.
           
                        Deklarasi Gunung Slamet

            Sebagai perwujudan sikap dan gerak laku gunungapi, kami masyarakat gunung api menyatakan;
1.      Gunungapi sebagai rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa
2.      Berupaya mewujudkan dan menjaga keharmonisan serta kelestarian kehidupan di gunungapi
3.      Mengoptimalkan kemanfaatan gunung api untuk kemakmuran kehidupan sesuai asas keamanan dan kelestarian
4.      Guyub, bahu-membahu, bekerja sama untuk hidup dan menghidupkan lingkungan gunung api.

Purbalingga, 14 Desember 2016
Kongres Gunungapi

            Kemenangan Indonesia atas Thailand tentu saja dibarengi oleh kemenangan kongres gunung yang menghasilkan Kongres Gunung Slamet. Hasil dari kongres gunung ini akan menjadi saran dan masukan kepada instansi terkait agar bisa terwujud undang-undang (UU) tentang gunungapi. Lelah dan kantuk tiba-tiba menyengat, tetapi beberapa kawan masih bersemangat dengan senyum yang begitu bahagia. Entah senyum karena berakhirnya acara atau senyum karena adanya Deklarasi Gunung Slamet. Tentu saja, senyum kami dari para blogger adalah senyum karena bisa menjadi bagian dari kongres gunung. Gerimis masih begitu manis, lagi-lagi mendoan dengan sambal kecap manis melambai-lambai. Sebut saja kami relawan mendoan, dan relawan gunung yang menjadi saksi terbentuknya Deklarasi Gunung Slamet. Demi mendoan dan gunung api, kami siap menjadi saksi. Sah!

Kepulangan dan Lagu yang Diam

            Tiba bagi malam kembali, tak ada bulan malam itu. Hanya kepulangan yang masih menjadi misteri. Keinginan untuk tinggal lebih lama tak bisa semena-mena kami kukuhkan. Karena esok masih ada yang perlu kami kerjakan, semisal mengulang pekerjaan yang sama untuk anak isteri, atau bisa untuk tabungan menikah, bisa juga untuk mencari bahan skripsi. Sudah barang pasti pilihan terbaik adalah tidur untuk melepas penat dan lelah, tetapi kendaraan telah dihidupkan. Tak ada yang bisa mengelak dari kepulangan yang akan lebih melelahkan dari keberangkatan. Beranjak turun kabut kian pekat, jarak pandang hanya tiga sampai lima meter. Lagu-lagu mulai diputar lagi, menina bobokan kami yang haus mimpi. Tentu saja lagu pertama milik Koes Plus “Why do you love me?”. Kenapa kau mencintaiku? Kenapa aku harus mencintaimu? Kenapa kita harus mencintai gunung? Tanyakan jawabnya pada hati masing-masing saja.
Tak begitu lama, kami terdiam memikirkan cara agar bisa tulus mencintai gunung, seperti tulus mencintai isteri atau pacar atau bahkan skripsi. Kami pulang, lagu seolah diam. Hanya hati yang menyanyikan lagu kepulangan penuh cinta kasih. Lagu-lagu yang dinyanyikan gunung dari kesepiannya untuk seluruh makhluk.


Wonosobo, 21 Desember 2016
Ardy Suryantoko


Ardy Suryantoko, lahir di Wonosobo 19 Desember 1992. Alumni Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Bergiat di kelompok belajar sastra Jejak Imaji (Yogyakarta) dan Komunitas Sastra Bimalukar (Wonosobo). Selain itu juga menjadi blogger angin-anginan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TUGAS KELAS X BAHASA INDONESIA WAJIB (SMATAQ)

Dalam upaya untuk tetap melaksanakan kegiatan belajar mengajar di SMA Takhassus Al-Qur'an via daring, maka berikut tugas untuk kelas X b...