“Jika
aku rindu, maka kuputuskan untuk menyurati Wonosobo”
“Maka
nikmat Tuhan mana yang kamu dustakan?” Aku tak akan pernah berkhianat jika megana dan tempe kemul adalah salah satu kenikmatan Tuhan yang berada di Wonosobo.
Aku suka menghabiskan sore dengan
menikmati semilir angin yang risik, angin yang mengingatkan masa kecil
sekaligus masa lalu di Wonosobo. Kota yang selalu memberikan rasa rindu jika
gerimis mulai berguguran dari langit, dan jika hujan telah jatuh maka rindu tak
lagi menjadi sebuah kata. Sementara aku hanya seorang sarjana pendidikan yang
baru lulus sekitar satu tahun lalu. Seorang pemuda yang hanya menghabiskan
waktu untuk menulis puisi atau sekadar membaca buku-buku puisinya Sapardi Djoko
Damono.
Kupikir aku akan memperkenalkan diri di bagian akhir saja ya Sob!
Menginjak usia dua lusin lebih
sedikit, aku hanya sebatas pemimpi di kota hujan ini. Pemuda yang kerap patah
hati dan tersakiti. Di dalam kesakitanku, rinduku pada Wonosobo semakin
menjadi. Pada suatu waktu di semester akhir perkuliahan, aku pernah tersakiti
oleh seorang perempuan. Setelah menghabiskan beberapa buku bacaan, maka
kuputuskan untuk menulis sebuah puisi tentangmu Sob, Wono”Sob”o. Duka laraku
menjadi beberapa puisi tentang kota kelahiranku. Setelah bertemu dengan
beberapa teman yang merupakan pegiat sastra di luar kampus, mereka menyarankan
untuk mengirimkan puisiku ke media masa.
Dalam detik jam dan tujuh belas kali
bergantinya malam, detak jantungku tak pernah teratur berdegup. Inikah yang
dinamakan jatuh cinta? Atau bangun cinta? Tak ada perempuan puisi pun jadi.
Pada Minggu, 15 Februari 2015 empat puisiku di muat di media masa cetak Suara
Merdeka, dan semua puisi tersebut kutulis karena aku rindu dengan Wonosobo.
Sejujurnya sejak saat itu aku mulai mencintai sastra, mencintai Wonosobo, dan
tentu saja belajar mencintai gadis Wonosobo yang dulu tak pernah mencintaiku.
Titik balik untuk menggantungkan mimpi-mimpiku di langit Tuhan. Di langit yang
katanya ada banyak bidadari berserta malaikat, maka aku ingin menitipkan doa
kepada mereka untuk Wonosobo dalam bentuk puisi-puisi.
Selepas itu, angin lebih berisik
mengusik kehidupanku. Hujan suka membasahi tubuhku. Maka bagiku tak ada pilihan
lain, selain melangitkan nama Wonosobo dalam puisi atau dalam bentuk tulisan
yang lain. Mimpiku dahulu adalah membentuk sebuah komunitas yang bergerak dalam
bidang seni-sastra di Wonosobo, dengan tujuan selain untuk mengenalkan
seni-sastra juga untuk meningkatkan kualitas individu yang memiliki pengetahuan
umum melalui literasi.
Tetapi
betapa beruntungnya karena kuketahui sudah ada beberapa orang yang mendahului
untuk membentuk komunitas yang bernama Komunitas Sastra Bimalukar. Sejak saat
itu aku mulai bergabung di Komunitas Sastra Bimalukar (KSB). Bersama dengan
beberapa teman-teman yang memiliki latar belakang berbeda, sastra adalah
pemersatu. Baik guru, sejarahwan, dosen, penyiar radio, pantomim, pemusik,
pengusaha, dan banyak lainnya. Hujan
yang turun semena-mena, angin kencang yang menikam sejadi-jadinya, dan dingin
yang menusuk sengilu-ngilunya. Menjadikan seorang individu agar tidak malas
adalah hal yang paling sulit dilakukan di Wonosobo, karena faktor cuaca daerah
pegunungan yang dingin membuat orang ngantukkan.
Memang tak bisa lagi dipungkiri lagi, tetapi bukan tanpa tujuan aku
menuliskan surat ini. Apabila menilik ke kota-kota sebelah, kegiatan literasi
sudah mulai menunjukkan pergerakan yang masif. Literasi sudah seharusnya
menjadi hak bagi seluruh masyarakat Wonosobo, khususnya bagi generasi Wonosobo
muda.
Memang
semua harus dimulai dari diri sendiri, kesadaran baca tulis, dan kesadaran akan
potensi dari masing-masing individu akan terbuka dari pengetahuan. Kemana angin
pergi tak ada yang tahu, tetapi ia selalu pulang meski pada waktu yang tak
menentu. Begitupun dengan sebuah harap, lepaskan semua harapan ke penjuru
manapun kau menginginkannya. Kelak ia akan pulang pada waktu yang tak akan
pernah disangka. Seperti Wonosobo juga, kota yang selalu menjadi harapan
terakhir ketika aku merasakan rindu. Rindu akan kota dingin yang kuharap bisa
menjadi salah satu kota dengan tingkat literasi dan budaya yang tinggi. Kota yang
akan selalu memiliki generasi muda yang peduli terhadap sejarah dan kemajuan.
Apabila
keindahan hanya milik Tuhan, maka Ia pasti hidup di Wonosobo. Apabila doa
adalah keindahan, maka puisi adalah salah satu bagian dari doa yang terindah.
Doa Untuk
Wonosobo
Di luas waktu yang selimuti hidup
Kutambatkan rindu pada rinai gerimis
Kepada malaikat kutitip doa yang paling sepi
Yang paling kutahu, Tuhan hidup di kotaku
Di mukim sunyi, kotaku bercahaya lugu
Aku menyusuri jalan di deras hujan yang bertalu
Atau menerjang kabut yang menebal di dadaku
Dingin memanggil dan ia menetap di tulangku
Aku ingin pulang
Mendengar lagi anak-anak kotaku mengaji
Atau membaca sejarah dengan tekun di hari-hari basah
Suara ceria yang gaduh di saat pintu dan jendela
gigil
Aku ingin pulang
Menyusun keping mozaik dari cerita kakek
Mengenalkan kembali kepada anak-anak kelak
Dan membacakan cerita tentang kotaku dari buku-buku
Kalau kau tua dan kelabu
Telah kubangun rumah untuk kau singgah
Di sana ada sedikit buku
Dan anak-anak yang mulai mengantuk
Mereka ingin tidur di pangkuanmu
Wonosobo,
24 Juli 2017
Mengakhiri
suratku, doa telah pecah berkeping-keping menjadi abu. Ia terbang ke langit
menuju Tuhan. Saat jantung malam mulai berdegup, dingin telah menghidupiku. Aku
hanya bisa membuka taman bacaan kecil di desaku. Setidaknya memulai dari
lingkungan yang terdekat. Anak-anak selalu asik bermain di taman bacaanku, dan
tentu saja sebagai tambahan pelajaran aku membuka kelas di taman bacaan ini.
Tak ada yang lebih asyik ketika aku melihat generasi muda Wonosobo ceria saat membaca
buku. “Maka nikmat Tuhan mana yang kamu
dustakan?”
Salam.
Ardy Suryantoko.
izin copas y pak . . .biar bisa baca offline
BalasHapusyoyoi
BalasHapus