Tuhan Diam Belaka
Oleh Ahmad Tohari
Seorang pemuda dalam perjalanan
menuju suatu tempat. Belum sampai ke tujuan, waktu magrib telah masuk. Maka dia
menghentikan sepeda motornya dekat sebuah surau di tepi jalan. Kebetulan di
sana siap ditegakkan jamaah magrib oleh beberapa orang lelaki, anak-anak dan
perempuan. Seorang lelaki tua bertindak sebagai imam.
Si pemuda cepat mengambil air
sembahyang dan segera bergabung dengan para jamaah dan mengikuti salat magrib
sejak rakaat pertama. Namun kelihatan benar pemuda tersebut tidak khusuk dalam
salatnya. Ia kelihatan gelisah sepanjang salatnya.
Dan salat jamaah pun usai. Namun si
pemuda berdiri kembali dan bertakbir-ikhram. Orang-orang di surau itu mengira
pemuda tadi hendak menegakkan salat ba’da
magrib. Namun para jamaah jadi ragu karena si pemuda salat dengan tiga
rakaat. Setahu mereka salat sunnah ba’da magrib
hanya dua rakaat.
“Salat sunnah Anda kelebihan satu
rakaat,” kata seorang jamaah sambil tersenyum.
“Oh, aku tidak salat sunnah. Yang
baru saja aku lakukan adalah salat magrib,” jawab si pemuda dengan yakin.
“Tetapi bukankah Anda sudah salat
magrib berjamaah bersama kami?”
“Benar. Namun aku menganggap salat
magrib kalian tidak benar. Maka aku merasa harus mengulang salat magribku.”
“Tidak benar?”
“Ya.”
Maka si pemuda menyebutkan beberapa
hal dalam salat magrib mereka yang dianggapnya tidak benar, tidak sesuai dengan
keyakinan yang diamalkannya selama ini. Selesai menyebut hal-hal yang
dianggapnya tidak benar itu si pemuda balik bertanya, mengapa para jamaah di
situ tetap beribadah dengan cara-cara yang ‘keliru’ itu.
Mendengar pertanyaan demikian para
jamaah terpana. Mereka tersinggung. Pembicaraan yang semula santai lambat laun
berubah panas dan nyaris meletup menjadi perdebatan. Ketika itulah lelaki tua
yang menjadi imam menghentikan zikirnya, lalu membalikkan badan menghadap para
jamaah dan si pemuda. Ia tersenyum. Kata-kata yang kemudian diucapkannya
terdengar datar.
“Soal salat kok diperdebatkan? Apa sih
untungnya?”
“Karena salat harus dilakukan
seperti Nabi salat. Bila tidak, salat yang mana saja akan tertolak,” kata si
pemuda.
“Ya, semua orang ingin salat seperti
Nabi salat. Yang sulit adalah memperoleh jaminan bahwa seseorang telah
melakukan salat seperti yang dilakukan Nabi. Paling-paling, masing-masing orang
atau jamaah boleh merasa yakin, bahwa amalnya sesuai dengan tuntunan Nabi,
namun tak boleh menghakimi amal saudaranya yang lain. Ini menyangkut masalah
keyakinan dimana sesama pencari kebenaran tak boleh saling menghakimi karena
hal itu semata-mata hak Allah.”
“Tetapi kan ada dalil-dalil sebagai
patokan amal?”
“Ya tentu. Dalil yang berupa ayat
Qur’an adalah mutlak. Dan sunnah Nabi diriwayatkan oleh orang-orang yang mulia.
Namun ketika kita memahami kedua macam dalil tersebut hasilnya adalah sesuatu
yang nisbi. Dengan demikian kita tidak boleh punya keyakinan bahwa amal kita
mutlak benar dengan akibat amal orang lain pasti salah.”
Suasana di surau jadi lengang. Lelaki
tua itu tersenyum. Lalu bangkit dan meletakkan tangannya di atas pundak pemuda
itu.
“Anda adalah pemuda yang cerdas dan
tentu saja kami harus menghargai keyakinan Anda. Dan kita tak perlu
mempermasalahkan perdebatan kecil dalam cara peribadatan kita.”
Pemuda itu mengangguk-angguk.
“Ya. Dan memutlakkan pendapat
sendiri dalam beribadah baru saja terbukti menjadi penyebab bubrahnya jamaah kita. Memang kita tak
perlu sama persis karena hal itu mustahil tercapai. Toh Tuhan sendiri diam
belaka, baik ketika disembah dengan cara Anda maupun cara kami. Itu pertanda
amal kita masing-masing diterima-Nya, Insya Allah.” ** (Tuhan Diam Belaka, hal.
20-22)
Tohari, Ahmad. 1996.
Berhala Kontemporer, Renungan Lepas Seputar
Agama, Kemanusiaan dan Budaya Masyarakat Urban. Surabaya: Penerbit Risalah
Gusti.