Jalan
Alternatif Menuju Jalan Sastra
Oleh Ardy Suryantoko
Bangku perkuliahan merupakan hal yang
dilematis jika dilihat dari beberapa kacamata. Tidak lain tujuan setelah lulus
adalah mendapatkan ijazah dan pekerjaan. Apakah itu saja cukup? Setiap orang
akan memiliki ceritanya masing-masing. Di Yogyakarta banyak berdiri
universitas, entah itu negeri maupun swasta. Tetapi tidak semua universitas
memiliki jurusan sastra atau pendidikan bahasa dan sastra.
Jika menengok pada jurusan pendidikan
bahasa dan sastra, bahwa output yang
ingin dihasilkan adalah munculnya calon pendidik (guru), ahli bahasa, dan ahli
sastra (sastrawan/kritikus sastra) yang tidak ‘abal-abal’. Sementara pada
jurusan sastra sendiri sudah barang pasti harus memunculkan dosen sastra,
sastrawan atau kritikus sastra. Artinya lulusan diharapkan memiliki ilmu pokok
dari jurusan yang sudah ditempuh, yaitu pendidikan, bahasa, dan sastra. Ketiga
hal ini tidak akan pernah dipisahkan di dalam jurusan sastra atau pendidikan
bahasa dan sastra Indonesia, karena merupakan mata rantai yang akan saling
berkait.
Ada beberapa universitas di Yogyakarta
yang memiliki jurusan sastra atau pendidikan bahasa dan sastra, seperti Universitas
Gadjah Mada (UGM), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas PGRI
Yogyakarta (UPY), Universitas Sanata Dharma, Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
(UAD), dll.
Sudah bukan menjadi rahasia umum jika Yogyakarta
menjadi salah satu rahim penulis Indonesia. Karena hampir setiap hari di
Yogyakarta ada acara sastra. Banyak penulis yang merasa dilahirkan kembali
melalui jalan sastra. Tentunya mereka yang sedang ataupun telah mengenyam
perkuliahan di Yogyakarta ini. Jika memang begitu peran kampus menjadi sangat
penting dalam proses kelahiran penulis-penulis muda.
Sumbangsih Kampus dan Batu
Sandungannya
Mahasiswa yang sudah masuk dalam jurusan
sastra atau pendidikan bahasa dan sastra mau tidak mau harus mau, untuk
setidaknya mengetahui apa itu pendidikan, bahasa, dan sastra. Mari tengok lebih
dalam jalan sastra di sebuah kampus.
Sumbangsih kampus dalam proses kelahiran
penulis muda sangat besar. Setidaknya melalui perkuliahan mahasiswa mengetahui
apa itu sastra, meskipun secara teoritis. Tetapi hal ini juga perlu sebagai
dasar acuan, kemudian memberi ruang bagi mahasiswa untuk mencari jati diri
melalui jalan sastra.
Mata kuliah sastra menjadi mata kuliah wajib
yang harus diambil oleh mahasiswa. Mulai dari sejarah sastra dan
perkembangannya, apresiasi sastra, hingga penulisan karya sastra. Hal tersebut
akan memaksa mahasiswa untuk bergelut dan bergulat pada dunia sastra. Walau terkadang
tidak disukai ataupun suka karena terpaksa. Tetapi bukan tidak mungkin akan ada
beberapa mahasiswa yang benar-benar suka dan cinta terhadap sastra.
Lantas jika memang ada
mahasiswa yang suka terhadap sastra maka kampus sudah menyediakan sedikit apa
yang dibutuhkannya. Mengenai dasar dan pengertian sastra, teori sastra,
jenis-jenis karya sastra, dsb. Hal yang kadang kurang diperhatikan kampus
adalah proses kreatif mahasiswa yang menempuh jalan sastra. Secara teoritis
memang sudah menjadi kewajiban kampus memberikannya. Tetapi ketika pemahaman
terhadap teori tidak diimbangi dengan tata cara aplikasi teori tersebut, maka
akan menjadi sebuah masalah. Mengaplikasikan teori tidak semudah seperti saat
menyampaikannya. Apalagi proses kreatif menulis karya sastra. Akan banyak
membutuhkan waktu dan tempat.
Waktu dan tempat
menjadi kendala utama kampus, juga dosen sastra atau pendidikan bahasa dan
sastra. Seperti batu sandungan bagi mahasiswa penganut jalan sastra. Bahwa yang
perlu dipahami belajar sastra tidak hanya cukup dengan teori di kelas.
Diskusi-diskusi di luar kelas juga sangat penting dilakukan. Dengan adanya
diskusi semacam ini setidaknya memberikan sedikit ruang untuk bergerak dan
berkembang bagi mahasiswa.
Bagi mahasiswa yang
sudah mabuk pada perjalanan dunia sastra, di manapun tempat berkumpul dengan
teman bisa menjadi lahan diskusi. Dan kampus sangat jarang memberikan fasilitas
tersebut.
Jalan
Alternatif Menuju Jalan Sastra
Tidak
mudah bagi mahasiswa penganut jalan sastra untuk melampiaskan keingintahuannya
tentang sastra. Waktu dan tempat yang terbatas harus disiasati. Pada akhirnya
yang harus dilakukan mahasiswa semacam ini adalah membuat tempat baru dan
menciptakan waktu tersendiri sebagai pelampiasan. Karena diskusi tentang sastra
tidak cukup dengan waktu 1-2 jam. Terkadang
bisa lebih dari itu.
Selain hal di atas tujuan lain dari
diskusi sastra tersebut sebagai ajang silaturahmi. Diskusi-diskusi di kampus
sudah semakin menjamur di universitas-universitas yang memiliki jurusan sastra
atau pendidikan bahasa dan sastra. Hal ini sudah barang tentu karena
kekurangpuasan terhadap apa yang sudah diberikan kampus. Hal lain, jika memang
harus melakukan diskusi maka waktu yang paling memungkinkan adalah saat tidak
mengganggu kuliah reguler. Bisa jadi malam hari.
Masalah
tersebut pada akhirnya akan membawa mahasiswa membuka diskusi di luar kampus.
Di angkringan, di rumah kontrakan atau kost, bahkan sampai di cafe-cafe. Dari
diskusi-diskusi kecil semacam itu, fenomena yang kini bisa dilihat adalah
banyaknya komunitas sastra atau bisa juga kelompok belajar sastra.
Lagi-lagi karena faktor
kekurangpuasan. Mahasiswa penganut jalan sastra membentuk komunitas atau
kelompok untuk menampung hobi. Membuka jalan lain menuju jalan sastra melalui
jalan di luar kampus. Faktor senioritas juga penting dalam perjalanan dunia
sastra. Jika tidak maka pembentukan jalan alternatif menuju jalan sastra akan
sangat sulit dibuat. Dengan bekal yang minim sebagai mahasiswa yang masih awam
belajar sastra tidak akan mudah. Ibarat
sebuah perjalanan menaiki bus, maka perlu adanya sopir, kernet, penumpang, dan
bus tentunya untuk melalui jalan tersebut.
Pada
akhirnya, di jalan inilah mahasiswa berproses lebih mendalam. Belajar
mengaplikasikan teori, dan berproses kreatif menulis karya sastra.
Jejak Imaji, 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar