Senin, 24 Agustus 2015

FRAGMEN "SEJARAH" KOTA DINGIN (MEMUSOKAN LADANG YANG SUBUR)



ardysuryantoko@yahoo.com

Dingin tercecer di mana-mana, sebuah isyarat bahwa ini merupakan daerah lereng gunung. Kabut juga tidak begitu pekat, tetapi rajin datang setelah petang menyengat. Lampu-lampu jalanan yang khas, dan lubang-lubang jalan yang tidak pernah absen dari pergantian musim. Musim panas dan musim hujan. Musim rindu dan musim cemburu. Sementara para kembara sudah berulang kali melewati jalan yang sama. Hanya untuk bertemu atau sekedar menghabiskan waktu untuk bercakap tentang hal yang itu-itu saja.
Perjalanan memang tak pernah diketahui kapan awal dan kapan akhir, namun demikian pencarian harus selalu dilakukan. Salah satu yang dicari dalam perjalanan pulang kali ini adalah mencari kenangan yang terlupakan. Bukan, dilupakan lebih tepatnya. Beberapa hari menyusuri sudut kota sudah banyak perubahan, namun secara hakikat nama kotanya masih sama. Dan bagaimana dengan masyarakatnya, tak terlihat jauh berubah.
Sama. Ya selalu sama dengan tahun-tahun yang sudah berlalu, hanya sedikit bertambah saja kepala-kepala di pinggiran jalan.
Hidup dalam suasana yang berbeda memang merupakan sebuah kenyataan yang harus dijalani. Terima atau tidak terima, seringkali hal yang wajar dianggap tidak wajar begitupun sebaliknya. Salah kaprah. Orang banyak yang remeh temeh tentang kehidupan masa silam. Usaha-usaha dan perjuangan yang sudah banyak dilakukan pendahulu dalam berbagai bidang, mulai dari politik, kesenian, kebudayaan, keagamaan, dan lain lain sering kali tidak mendapat perhatian lebih.
Mengutip dari pendapat H. B Jassin dalam buku Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai I.

.... rasa kenasionalan sendiri pun ada yang menganggapnya sesuatu yang sudah lewat masanya dan hanya menjadi sumber pengaburan dan pemalsuan nilai-nilai kemanusiaan (1985: 16).

            Jika membahas sejarah yang paling pertama harus dilakukan adalah melepaskan diri dari segala bentuk yang mewujud diri sendiri. Menanggalkan segala yang dipakai untuk dapat masuk lebih dalam agar lebih objektif. Manusia sendiri memang tidak akan pernah lepas dari sejarah. Salah satunya adalah sejarah kelahiran. Setiap terjadinya kelahiran baru karena sebelumnya sudah ada kematian yang mendahului. Dalam konsep tersebut artinya bahwa pembahaharuan akan selalu ada menggantikan sesuatu yang lama. Tetapi dalam pembaharuan ini pun akan memiliki dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah pembaharuan tersebut akan memiliki kemiripan dan meneruskan apa yang sudah ada, dan kemungkinan kedua adalah pembaharuan yang benar-benar berbeda dari yang dahulu sudah ada.
Dalam setiap perkembangan seperti ini memang akan memunculkan banyak sekali pro dan kontra. Sejarah hanyalah sejarah dan memang “diadakan” untuk mencari asal-usul sebuah “kelahiran”. Minilik ke belakang bahwa dibentuknya sejarah terkadang karena adanya kepentingan terselubung (istilah keren modus). Hal ini dibuat untuk menguatkan salah satu bentuk perpolitikan –salah satunya-. Jika memang iya kota yang dingin ini merupakan bagian dari sejarah yang sengaja dibentuk untuk kepentingan tersebut. Namun bukan hal tersebut yang akan lebih lanjut dibahas. Akan lebih menarik jika mengambil sudut pandang permasalahan sejarah yang akhirnya hanya menjadi sejarah saja.
Di kelilingi bukit-bukit dan gunung, kota kenangan ini selalu dingin. Cinta sudah disemai jauh-jauh tahun sebelum gedung-gedung bertingkat dibangun. Pembentukan karakteristik masyarakat sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan geografis. Syair-syair yang tercatat pada batuan, stupa, yupa, atau relief candi, adalah bukti sejarah yang selalu kesepian. Seperti anak-anak pendiri Wonosobo (mitosnya si Mbah Kolodete, Kiyai Walik, Kiyai Karim) yang mulai melupakan jati dirinya. Habit atau kebiasaan yang sangat menarik adalah “keroyokan” (perspektif penulis). Hal ini yang menjadi salah satu ciri khas masyarakat Wonosobo. Hal-hal yang sifatnya bisa dinikmati secara umum menjadi lahan yang sangat subur untuk bercocok tanam (nanam apa saja termasuk tanam-tanam cinta). Setidaknya selain tanahnya yang benar-benar memang subur, lahan yang lain juga memang sangat menjanjikan, contohnya perpolitikan dan ekonomi.
Posisi yang benar-benar berada di daerah lereng gunung dan terdapat jalur provinsi yang menghubungkan beberapa kota besar di Jawa Tengah, benar-benar membuat kota ini menjadi kota yang baru. Adat dan budaya memang tidak terlalu berpengaruh, tetapi  hal yang jauh berubah adalah pola pikir masyarakatnya. Kuatnya mobilitas di kota yang dingin ini sangat mempengaruhi masyarakat pada umumnya, tapi tidak pada khususnya.
Pada akhirnya hal itulah yang membuat kota dingin ini mulai banyak kehilangan jati diri. Diawalai dari masyarakatnya memang. Contoh yang paling menyakitkan ketika adanya acara milad Kabupaten Wonosobo. Dari beberapa hal yang didapat (versi penulis), acara milad sekarang memang semakin meriah (secara fisik) tetapi secara “ruh” mengalamai degradasi yang sangat “njurang”. Acara yang mungkin hanya sebatas menggugurkan kewajiban, jika tidak ada maka seperti mengkhianati. Toh akhirnya milad hanya sebagai hiburan, bukan “apa” makna atau pesan dari milad tersebut. Orang berduyun-duyun datang, lagi-lagi keroyokan. Setelah itu selesai, pulang juga berduyun-duyun. Lalu lupa dengan apa yang sudah disajikan, bisa jadi yang paling ingat hanya hiburannya.
Jika, memang begitu apa yang sudah ditanam oleh para pendiri kota dingin ini apakah bisa di panen. Atau dengan sengaja ada orang yang memang menginginkan kota dingin ini gagal panen. Dengan banyaknya faktor dari luar yang membuat atmosfer Wonosobo menjadi berbeda, tetapi akhirnya semua harus dikembalikan pada diri sendiri.
Musim panen akan selalu datang, dalam musim-musim yang membawa berkah. Hanya saja musim hujan tidak selalu panen, dan musim panas terkadang justru akan panen. Puso atau tidaknya sebuah kota dengan geografis yang sangat strategis, harus kembali lagi pada setiap individunya.
Gorong-gorong pun tidak akan pernah cukup menampung segala hujan dan air mata dari sejarah. Aliran sungai tak akan pernah kering dan berubah menjadi batu-batu serta pasir yang kering. Sepanjang perjalanan kita hanya perlu berdoa, agar nenek moyang tidak pernah murka. Agar Tuhan akan selalu hidup di ladang-ladang yang sudah terlanjur disemai bibit-bibit cinta dan kasih sayang. Akan kita panen kerinduan tanpa cemburu yang akan membunuh perlahan.



Wonosobo, Juli 2015


Ardy Suryantoko


* Ardy Suryantoko lahir di Wonosobo 19 Desember 1992. Sedang melanjutkan studi S1 di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Aktif di Kelompok belajar sastra Jejak Imaji.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TUGAS KELAS X BAHASA INDONESIA WAJIB (SMATAQ)

Dalam upaya untuk tetap melaksanakan kegiatan belajar mengajar di SMA Takhassus Al-Qur'an via daring, maka berikut tugas untuk kelas X b...