oleh:
Ardy Suryantoko*
ardysuryantoko@yahoo.com
Dingin tercecer di mana-mana, sebuah
isyarat bahwa ini merupakan daerah lereng gunung. Kabut juga tidak begitu
pekat, tetapi rajin datang setelah petang menyengat. Lampu-lampu jalanan yang
khas, dan lubang-lubang jalan yang tidak pernah absen dari pergantian musim. Musim
panas dan musim hujan. Musim rindu dan musim cemburu. Sementara para kembara
sudah berulang kali melewati jalan yang sama. Hanya untuk bertemu atau sekedar
menghabiskan waktu untuk bercakap tentang hal yang itu-itu saja.
Perjalanan memang tak pernah diketahui
kapan awal dan kapan akhir, namun demikian pencarian harus selalu dilakukan.
Salah satu yang dicari dalam perjalanan pulang kali ini adalah mencari kenangan
yang terlupakan. Bukan, dilupakan lebih tepatnya. Beberapa hari menyusuri sudut
kota sudah banyak perubahan, namun secara hakikat nama kotanya masih sama. Dan
bagaimana dengan masyarakatnya, tak terlihat jauh berubah.
Sama. Ya selalu sama dengan tahun-tahun yang sudah berlalu, hanya sedikit bertambah saja kepala-kepala di pinggiran jalan.
Sama. Ya selalu sama dengan tahun-tahun yang sudah berlalu, hanya sedikit bertambah saja kepala-kepala di pinggiran jalan.
Hidup dalam suasana yang berbeda memang
merupakan sebuah kenyataan yang harus dijalani. Terima atau tidak terima,
seringkali hal yang wajar dianggap tidak wajar begitupun sebaliknya. Salah
kaprah. Orang banyak yang remeh temeh tentang kehidupan masa silam. Usaha-usaha
dan perjuangan yang sudah banyak dilakukan pendahulu dalam berbagai bidang,
mulai dari politik, kesenian, kebudayaan, keagamaan, dan lain lain sering kali
tidak mendapat perhatian lebih.
Mengutip dari pendapat H. B Jassin dalam
buku Kesusastraan Indonesia Modern dalam
Kritik dan Esai I.
....
rasa kenasionalan sendiri pun ada yang menganggapnya sesuatu yang sudah lewat
masanya dan hanya menjadi sumber pengaburan dan pemalsuan nilai-nilai
kemanusiaan (1985: 16).
Jika membahas sejarah yang paling
pertama harus dilakukan adalah melepaskan diri dari segala bentuk yang mewujud
diri sendiri. Menanggalkan segala yang dipakai untuk dapat masuk lebih dalam
agar lebih objektif. Manusia sendiri memang tidak akan pernah lepas dari
sejarah. Salah satunya adalah sejarah kelahiran. Setiap terjadinya kelahiran
baru karena sebelumnya sudah ada kematian yang mendahului. Dalam konsep
tersebut artinya bahwa pembahaharuan akan selalu ada menggantikan sesuatu yang
lama. Tetapi dalam pembaharuan ini pun akan memiliki dua kemungkinan.
Kemungkinan pertama adalah pembaharuan tersebut akan memiliki kemiripan dan
meneruskan apa yang sudah ada, dan kemungkinan kedua adalah pembaharuan yang
benar-benar berbeda dari yang dahulu sudah ada.
Dalam setiap perkembangan seperti ini
memang akan memunculkan banyak sekali pro dan kontra. Sejarah hanyalah sejarah
dan memang “diadakan” untuk mencari asal-usul sebuah “kelahiran”. Minilik ke
belakang bahwa dibentuknya sejarah terkadang karena adanya kepentingan
terselubung (istilah keren modus). Hal ini dibuat untuk menguatkan salah satu
bentuk perpolitikan –salah satunya-. Jika memang iya kota yang dingin ini
merupakan bagian dari sejarah yang sengaja dibentuk untuk kepentingan tersebut.
Namun bukan hal tersebut yang akan lebih lanjut dibahas. Akan lebih menarik
jika mengambil sudut pandang permasalahan sejarah yang akhirnya hanya menjadi
sejarah saja.
Di kelilingi bukit-bukit dan gunung,
kota kenangan ini selalu dingin. Cinta sudah disemai jauh-jauh tahun sebelum
gedung-gedung bertingkat dibangun. Pembentukan karakteristik masyarakat sangat
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan geografis. Syair-syair yang tercatat
pada batuan, stupa, yupa, atau relief candi, adalah bukti sejarah yang selalu
kesepian. Seperti anak-anak pendiri Wonosobo (mitosnya si Mbah Kolodete, Kiyai
Walik, Kiyai Karim) yang mulai melupakan jati dirinya. Habit atau kebiasaan
yang sangat menarik adalah “keroyokan”
(perspektif penulis). Hal ini yang menjadi salah satu ciri khas masyarakat
Wonosobo. Hal-hal yang sifatnya bisa dinikmati secara umum menjadi lahan yang
sangat subur untuk bercocok tanam (nanam apa saja termasuk tanam-tanam cinta).
Setidaknya selain tanahnya yang benar-benar memang subur, lahan yang lain juga
memang sangat menjanjikan, contohnya perpolitikan dan ekonomi.
Posisi yang benar-benar berada di daerah
lereng gunung dan terdapat jalur provinsi yang menghubungkan beberapa kota
besar di Jawa Tengah, benar-benar membuat kota ini menjadi kota yang baru. Adat
dan budaya memang tidak terlalu berpengaruh, tetapi hal yang jauh berubah adalah pola pikir masyarakatnya.
Kuatnya mobilitas di kota yang dingin ini sangat mempengaruhi masyarakat pada
umumnya, tapi tidak pada khususnya.
Pada akhirnya hal itulah yang membuat
kota dingin ini mulai banyak kehilangan jati diri. Diawalai dari masyarakatnya
memang. Contoh yang paling menyakitkan ketika adanya acara milad Kabupaten
Wonosobo. Dari beberapa hal yang didapat (versi penulis), acara milad sekarang
memang semakin meriah (secara fisik) tetapi secara “ruh” mengalamai degradasi
yang sangat “njurang”. Acara yang mungkin hanya sebatas menggugurkan kewajiban,
jika tidak ada maka seperti mengkhianati. Toh akhirnya milad hanya sebagai
hiburan, bukan “apa” makna atau pesan dari milad tersebut. Orang berduyun-duyun
datang, lagi-lagi keroyokan. Setelah itu selesai, pulang juga berduyun-duyun.
Lalu lupa dengan apa yang sudah disajikan, bisa jadi yang paling ingat hanya
hiburannya.
Jika, memang begitu apa yang sudah
ditanam oleh para pendiri kota dingin ini apakah bisa di panen. Atau dengan
sengaja ada orang yang memang menginginkan kota dingin ini gagal panen. Dengan
banyaknya faktor dari luar yang membuat atmosfer Wonosobo menjadi berbeda,
tetapi akhirnya semua harus dikembalikan pada diri sendiri.
Musim panen akan selalu datang, dalam
musim-musim yang membawa berkah. Hanya saja musim hujan tidak selalu panen, dan
musim panas terkadang justru akan panen. Puso atau tidaknya sebuah kota dengan
geografis yang sangat strategis, harus kembali lagi pada setiap individunya.
Gorong-gorong pun tidak akan pernah
cukup menampung segala hujan dan air mata dari sejarah. Aliran sungai tak akan
pernah kering dan berubah menjadi batu-batu serta pasir yang kering. Sepanjang
perjalanan kita hanya perlu berdoa, agar nenek moyang tidak pernah murka. Agar
Tuhan akan selalu hidup di ladang-ladang yang sudah terlanjur disemai bibit-bibit
cinta dan kasih sayang. Akan kita panen kerinduan tanpa cemburu yang akan
membunuh perlahan.
Wonosobo, Juli 2015
Ardy Suryantoko
* Ardy
Suryantoko lahir di Wonosobo 19 Desember 1992. Sedang melanjutkan studi S1 di
Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Aktif di Kelompok belajar sastra Jejak Imaji.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar