Jumat, 23 Januari 2015

ESAI "SASTRA DAN REALITA MASYARAKAT"



Sastra dan Realita Masyarakat

Sastra adalah intuisi sosial yang memakai medium bahasa. Teknik-teknik sastra tradisional seperti simbolisme dan matra bersifat sosial karena merupakan konvensi dan norma masyarakat. Lagi pula sastra ”menyajikan kehidupan”, dan “kehidupan” juga “meniru” alam dan dunia subjektif manusia (Wellek dan Austin, 2014: 98). Jadi pada dasarnya sastra  merupakan cermin kehidupan masyarakat. Terciptanya sebuah karya sastra tidak pernah lepas dari faktor sosial pengarang dan lingkungan kehidupannya. Karya sastra sendiri bersifat subjektif pengarang
dari dunia imajinasi yang didapat dari pengalaman empirik atau pengalaman langsung kehidupannya. Melalui indranya pengarang akan memproses apa pun yang dilihat, dirasa, dan didengar dari masyarakat sekitar untuk selanjutnya diimajinasikan dalam bentuk tulisan.
Ihsan Handayani sebut saja Yani di esai ini, dalam proses penciptaannya Yani merasakan kegelisahan atas apa yang dirasakan dalam kehidupannya. Sebagai seorang yang “melek” pendidikan dan “lingkungan sekitar” (mungkin) kegusaran Yani akhirnya “klimaks” pada cerpen yang berjudul “Cerita Sebelum Tidur”. Menengok latar belakang Yani yang notabene adalah orang baru dalam konteks sastra, dan orang lama dalam kehidupan di masyarakatnya, setidaknya hal ini sudah cukup untuk menjadi bekal penulisannya. Hanya saja ada beberapa hal yang menjadi kekurangannya, sebagai mahasiswa PBSI UAD seharusnya etika penulisan benar-benar diperhatikan (mungkin perlu direnungkan).
Yani memaparkan salah satu kegelisahan terbaru yang sedang dirasakan oleh masyarakat kota Yogyakarta khususnya dan Indonesia umumnya. Semisal pada beberapa kutipan cepen berikut ini.
....”Bahaya! Negara ini sedang dikepung.  Siapkan pejuang yang rela mati. Bagi yang tidak berani, silahkan berlindung di tempat yang aman”.... (hal. 1)
....“Kita sekarang sudah seperti akan kembali ke jaman penjajahan Kek. Negara kita telah dikepung kek. Negara kita akan segera dijatuhkan”.... (hal. 2)

Melihat kutipan dari cerpen tersebut, Yani mengungkapkan kerisauannya tentang kondisi negara yang sudah semakin kritis dan rumit. Ia berpendapat melalui tulisannya bahwa kehidupan sekarang tidak jauh beda dengan kehidupan waktu penjajahan. Hanya saja dari kutipan tersebut Yani tidak menyampaikan secara langsung “apa” yang menjadi titik fokus kehidupan yang disinggungnya.
....“Hati-hati dengan mulutmu! Aku dahulu juga ikut berperang. Ya, memang aku akui dahulu juga ada kacung-kacung penjajah, namun itu hanya segelintir oknum. Tapi, itu bukan aku. Sama seperti sekarang, juga banyak kacung-kacung bangsa penjajah dan bahkan sekarang juga banyak orang pribumi yang menjajah bangsanya sendiri. Tapi aku tidak seperti mereka. Kau lihat ini? kakek itu mengeluarkan sebuah amplop yang berisi beberapa lembar uang”.... (hal. 2)

Selanjutnya dari kutipan ini, Yani sudah mulai memberikan perincian tentang masalah kehidupan yang terdapat di dalam masyarakat. Menurut Goldman (1981: 40) dalam Faruk, sebagai fakta kemanusiaan, karya sastra adalah struktur yang berarti (significant structure). Yang dimaksudkan adalah, bahwa penciptaan karya sastra adalah untuk mengembangkan hubungan manusia dengan dunia. Karena sifatnya yang demikian, karya sastra tidak dapat dilepaskan dari subjek penciptaannya. Hanya saja, Goldman tidak menyetujui anggapan adanya bahwa subjek karya sastra itu adalah individu. Menurutnya karya sastra atau karya kultural yang benar merupakan produk dari subjek trans-individual atau kolektif karena mempunyai pengaruh dalam sejarah sosial secara keseluruhan.
Dari pendapat di atas Yani membandingkan masalah-masalah masa kini dengan masa sebelumnya. Diciptakannya cerpen ini salah satunya untuk memberikan kririk terhadap kehidupan masyarakat sekarang tidak lebih baik dari masyarakat dahulu. Di dalam karyanya Yani membuat subjeknya adalah masalah itu sendiri, yang di sinkronkan pada tokoh Karyo dan Kakek. Sejarah Indonesia tak pernah lepas dari KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) dalam masyarakatnya, sama dengan yang diutarakan oleh pengarang pada tokoh kakek “kakek itu mengeluarkan sebuah amplop yang berisi beberapa lembar uang”.
.... Dilanjutkan tertamparnya muka Karyo dengan liflet dari wajah-wajah penipu. Dan tanpa sengaja melihat mobil yang berhenti persis di depan matanya kira-kira berjarak 10 meter juga dengan wajah-wajah penipu, membuat Karyo semakin yakin bahwa sebentar lagi akan menjadi pejuang.
“Lebih baik aku memandang taxi yang ada gambar promosi kebun binatang dari pada gambar wajah-wajah penipu, dengan satirenya. Ia melihat  tukang sapu yang sedari tadi memperhatikannya.... (hal. 2-3)

Dari dua kutipan cerpen di atas, Yani lebih menggunakan citraan pengelihatannya untuk menggambarkan keadaan lingkungan sosial kehidupannya. Melalui tokoh Karyo, Yani menggambarkan keadaan lingkungan kota Yogyakarta yang sudah menjadi “lahan orang-orang” dari golongan tertentu yang ingin mencari keuntungan pribadi di kota tersebut. Masuk melalui sistem pemerintahan menjadi salah satu cara yang paling jitu untuk “menjajah” negeri sendiri.
***
Beberapa hal juga perlu diperhatikan oleh Yani, logika berpikir dan ketercapaian makna di dalam cerpen itu sendiri. Pertama, tentang “laki-laki” yang tiba-tiba keluar dari warnet. Apabila dikaji lebih dalam makna “laki-laki” masih jauh dari apa yang mungkin ingin dibahas oleh Yani, sudah pasti “laki-laki” di situ belum mengetahui apa yang benar-benar terjadi di dalam sebuah negara. Karena tiba-tiba “laki-laki” itu keluar dan langsung teriak-teriak tentang negara yang sedang di kepung, entah apa yang mengepungnya dan entah apa yang menyebabkan “laki-laki” itu berbuat seperti itu.
....Karyo berlari sambil berteriak-teriak setelah keluar Warnet. Orang-orang  di sekitaran Warnet pun gempar bukan main. Orang-orang diluar Warnet dibikinnya bingung. Setelah diamati, ternyata bersumber dari seseorang lelaki berlari tanpa alas kaki dengan lantangnya berteriak-teriak.”Bahaya! negara ini sedang dikepung. Siapkan pejuang yang rela mati. Bagi yang tidak berani,  silahkan berlindung di tempat yang aman”..... (hal. 1)

Kedua, diperkuat dengan percakapan seorang ibu dan orang yang berada di sampingnya. Yang menyatakan bahwa ternyata “laki-laki” itu masih “anak-anak”. Apa yang diketahui seorang anak yang tiba-tiba keluar dari sebuah warnet? Jika dilihat dari realitas pengunjung warnet di sekitar Yogyarta rata-rata pengunjungnya adalah anak-anak dan remaja usia 10-25 tahun. Kebanyakan dari mereka juga hanya bermain game, melihat video, atau yang lumayan mencari tugas sekolah/ kuliah.
Selanjutnya hal tersebut diperkuat lagi dengan percakapan si “kakek” dengan si “anak”.
“Ada apa Nak? Apa yang bahaya?”tanya seorang kakek.
“Bahaya Kek. Kita akan mati. Sebentar lagi kita akan hancur lebur. Kakek sebaiknya berlindung, jika masih kuat, Ayo berjuang untuk menjadi relawan bela negara kek. 
Kakek itu pun masih bingung dengan jawaban  laki-laki yang naik di atas mobil. Lalu kakek itu bertanya lagi.
“Apa maksud perkataanmu?”
“Kita sekarang  sudah seperti akan kembali ke jaman penjajahan Kek.Negara kita telah dikepung kek. Negara kita akan segera dijatuhkan”.
Kakek itu pun mulai geram
“Dasar Gila!”

            Ketiga, dari percakapan di atas bisa dilihat bahwa apa yang diketahui ”anak” tersebut belum bisa membuat orang lain percaya. Selanjutnya dari percakapan-percakapan yang lain menceritakan bahwa kakek itu usianya sudah lebih tua dari “anak” tersebut, yang lebih menguatkan bahwa usia kakek itu lebih tua adalah ketika dia berbicara “Hati-hati dengan mulutmu! Aku dahulu juga ikut berperang. Jadi wajar saja bahwa kakek menganggap “anak” itu gila.
            Untuk yang terakhir adalah percakapan “anak” itu dengan tukang sapu. Jika melihat realita tukang sapu di sekitar Yogyakarta perlu dipertimbangkan lagi, si “anak” memanggil tukang sapu dengan sebutan “mas”. Kebanyakan tukang sapu di sekitar Yogyakarta adalah bapak-bapak yang biasanya sudah mulai berumur lanjut, karena pada usia lanjut apapun pekerjaannya biasanya bisa diterima dengan lapang dada. Selain itu, pekerjaan ini sudah tidak begitu banyak memerlukan banyak tenaga. Jika dilogika, apabila tukang sapu tersebut adalah seorang anak muda sangat kurang masuk akal, karena “gengsi” anak muda biasanya lebih memilih pekerjaan lain selain tukang sapu. Semisal bekerja di kafe, warnet, toko, fotokopian dll, itu pasti akan menjadi pilihan utama daripada harus menjadi tukang sapu. Panggilan “mas” menunjukan bahwa tukang sapu itu masih muda, ada kemungkinan usianya hanya terpaut dua sampai tujuh tahun dari si “anak” atau Karyo.
            Jadi, tokoh Karyo pada cepen Yani apabila itu sebagai simbol belum bisa sampai makna terdalam, karena secara logika anak-anak belum tahu persis tentang masalah-masalah negara, dan seharusnya Yani lebih mempertimbangkan hal tersebut. Selain itu konflik di dalamnya mungkin harus ditambah, supaya pembaca bisa terus mengikuti alurnya.

Semoga bermanfaat.
Salam sastra!

Jejak Imaji, 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TUGAS KELAS X BAHASA INDONESIA WAJIB (SMATAQ)

Dalam upaya untuk tetap melaksanakan kegiatan belajar mengajar di SMA Takhassus Al-Qur'an via daring, maka berikut tugas untuk kelas X b...