Sastra
dan Realita Masyarakat
Esai Ardy Suryantoko
Sastra adalah intuisi
sosial yang memakai medium bahasa. Teknik-teknik sastra tradisional seperti simbolisme
dan matra bersifat sosial karena merupakan konvensi dan norma masyarakat. Lagi
pula sastra ”menyajikan kehidupan”, dan “kehidupan” juga “meniru” alam dan
dunia subjektif manusia (Wellek dan Austin, 2014: 98). Jadi pada dasarnya
sastra merupakan cermin kehidupan
masyarakat. Terciptanya sebuah karya sastra tidak pernah lepas dari faktor
sosial pengarang dan lingkungan kehidupannya. Karya sastra sendiri bersifat
subjektif pengarang
dari dunia imajinasi yang didapat dari pengalaman empirik
atau pengalaman langsung kehidupannya. Melalui indranya pengarang akan
memproses apa pun yang dilihat, dirasa, dan didengar dari masyarakat sekitar
untuk selanjutnya diimajinasikan dalam bentuk tulisan.
Ihsan Handayani sebut
saja Yani di esai ini, dalam proses
penciptaannya Yani merasakan kegelisahan atas apa yang dirasakan dalam
kehidupannya. Sebagai seorang yang “melek” pendidikan dan “lingkungan sekitar” (mungkin)
kegusaran Yani akhirnya “klimaks” pada cerpen yang berjudul “Cerita Sebelum Tidur”. Menengok latar belakang
Yani yang notabene adalah orang baru dalam konteks sastra, dan orang lama dalam
kehidupan di masyarakatnya, setidaknya hal ini sudah cukup untuk menjadi bekal
penulisannya. Hanya saja ada beberapa hal yang menjadi kekurangannya, sebagai
mahasiswa PBSI UAD seharusnya etika penulisan benar-benar diperhatikan (mungkin
perlu direnungkan).
Yani memaparkan salah
satu kegelisahan terbaru yang sedang dirasakan oleh masyarakat kota Yogyakarta
khususnya dan Indonesia umumnya. Semisal pada beberapa kutipan cepen berikut
ini.
....”Bahaya! Negara ini sedang dikepung. Siapkan pejuang yang rela mati. Bagi yang
tidak berani, silahkan berlindung di tempat yang aman”.... (hal. 1)
....“Kita sekarang sudah seperti akan kembali ke
jaman penjajahan Kek. Negara kita telah dikepung kek. Negara kita akan segera
dijatuhkan”.... (hal. 2)
Melihat kutipan dari
cerpen tersebut, Yani mengungkapkan kerisauannya tentang kondisi negara yang
sudah semakin kritis dan rumit. Ia berpendapat melalui tulisannya bahwa
kehidupan sekarang tidak jauh beda dengan kehidupan waktu penjajahan. Hanya
saja dari kutipan tersebut Yani tidak menyampaikan secara langsung “apa” yang menjadi titik fokus
kehidupan yang disinggungnya.
....“Hati-hati dengan mulutmu! Aku dahulu juga
ikut berperang. Ya, memang aku akui dahulu juga ada kacung-kacung penjajah, namun
itu hanya segelintir oknum. Tapi, itu bukan aku. Sama seperti sekarang, juga
banyak kacung-kacung bangsa penjajah dan bahkan sekarang juga banyak orang
pribumi yang menjajah bangsanya sendiri. Tapi aku tidak seperti mereka. Kau
lihat ini? kakek itu mengeluarkan sebuah amplop yang berisi beberapa lembar
uang”.... (hal. 2)
Selanjutnya dari
kutipan ini, Yani sudah mulai memberikan perincian tentang masalah kehidupan
yang terdapat di dalam masyarakat. Menurut Goldman (1981: 40) dalam Faruk,
sebagai fakta kemanusiaan, karya sastra adalah struktur yang berarti (significant structure). Yang dimaksudkan
adalah, bahwa penciptaan karya sastra adalah untuk mengembangkan hubungan
manusia dengan dunia. Karena sifatnya yang demikian, karya sastra tidak dapat
dilepaskan dari subjek penciptaannya. Hanya saja, Goldman tidak menyetujui
anggapan adanya bahwa subjek karya sastra itu adalah individu. Menurutnya karya
sastra atau karya kultural yang benar merupakan produk dari subjek
trans-individual atau kolektif karena mempunyai pengaruh dalam sejarah sosial
secara keseluruhan.
Dari pendapat di atas
Yani membandingkan masalah-masalah masa kini dengan masa sebelumnya.
Diciptakannya cerpen ini salah satunya untuk memberikan kririk terhadap
kehidupan masyarakat sekarang tidak lebih baik dari masyarakat dahulu. Di dalam
karyanya Yani membuat subjeknya adalah masalah itu sendiri, yang di sinkronkan
pada tokoh Karyo dan Kakek. Sejarah Indonesia tak pernah lepas dari KKN
(korupsi, kolusi, dan nepotisme) dalam masyarakatnya, sama dengan yang
diutarakan oleh pengarang pada tokoh kakek “kakek
itu mengeluarkan sebuah amplop yang berisi beberapa lembar uang”.
....
Dilanjutkan tertamparnya muka Karyo
dengan liflet dari wajah-wajah penipu. Dan tanpa sengaja melihat mobil yang
berhenti persis di depan matanya kira-kira berjarak 10 meter juga dengan
wajah-wajah penipu, membuat Karyo semakin yakin bahwa sebentar lagi akan
menjadi pejuang.
“Lebih baik aku
memandang taxi yang ada gambar promosi kebun binatang dari pada gambar
wajah-wajah penipu, dengan satirenya. Ia melihat tukang sapu yang sedari tadi memperhatikannya....
(hal.
2-3)
Dari dua kutipan cerpen
di atas, Yani lebih menggunakan citraan pengelihatannya untuk menggambarkan
keadaan lingkungan sosial kehidupannya. Melalui tokoh Karyo, Yani menggambarkan
keadaan lingkungan kota Yogyakarta yang sudah menjadi “lahan orang-orang” dari
golongan tertentu yang ingin mencari keuntungan pribadi di kota tersebut. Masuk
melalui sistem pemerintahan menjadi salah satu cara yang paling jitu untuk
“menjajah” negeri sendiri.
***
Beberapa hal juga perlu
diperhatikan oleh Yani, logika berpikir dan ketercapaian makna di dalam cerpen
itu sendiri. Pertama, tentang “laki-laki”
yang tiba-tiba keluar dari warnet. Apabila dikaji lebih dalam makna “laki-laki” masih jauh dari apa yang mungkin
ingin dibahas oleh Yani, sudah pasti “laki-laki”
di situ belum mengetahui apa yang benar-benar terjadi di dalam sebuah negara.
Karena tiba-tiba “laki-laki” itu
keluar dan langsung teriak-teriak tentang negara yang sedang di kepung, entah
apa yang mengepungnya dan entah apa yang menyebabkan “laki-laki” itu berbuat seperti itu.
....Karyo berlari sambil berteriak-teriak
setelah keluar Warnet. Orang-orang
di sekitaran Warnet pun gempar bukan main. Orang-orang diluar Warnet
dibikinnya bingung. Setelah diamati, ternyata bersumber dari seseorang lelaki
berlari tanpa alas kaki dengan lantangnya berteriak-teriak.”Bahaya! negara ini sedang dikepung. Siapkan
pejuang yang rela mati. Bagi yang tidak berani,
silahkan berlindung di tempat yang aman”..... (hal. 1)
Kedua, diperkuat dengan
percakapan seorang ibu dan orang yang berada di sampingnya. Yang menyatakan
bahwa ternyata “laki-laki” itu masih “anak-anak”. Apa yang diketahui seorang
anak yang tiba-tiba keluar dari sebuah warnet? Jika dilihat dari realitas
pengunjung warnet di sekitar Yogyarta rata-rata pengunjungnya adalah anak-anak
dan remaja usia 10-25 tahun. Kebanyakan dari mereka juga hanya bermain game,
melihat video, atau yang lumayan mencari tugas sekolah/ kuliah.
Selanjutnya hal
tersebut diperkuat lagi dengan percakapan si “kakek” dengan si “anak”.
“Ada
apa Nak? Apa yang bahaya?”tanya seorang kakek.
“Bahaya
Kek. Kita akan mati. Sebentar lagi kita akan hancur lebur. Kakek sebaiknya
berlindung, jika masih kuat, Ayo berjuang untuk menjadi relawan bela negara
kek.
Kakek itu pun masih bingung dengan jawaban laki-laki yang naik di atas mobil. Lalu kakek
itu bertanya lagi.
“Apa maksud
perkataanmu?”
“Kita
sekarang sudah seperti akan kembali ke
jaman penjajahan Kek.Negara kita telah dikepung kek. Negara kita akan segera
dijatuhkan”.
Kakek itu pun mulai geram
“Dasar
Gila!”
Ketiga,
dari percakapan di atas bisa dilihat bahwa apa yang diketahui ”anak” tersebut belum bisa membuat orang
lain percaya. Selanjutnya dari percakapan-percakapan yang lain menceritakan
bahwa kakek itu usianya sudah lebih tua dari “anak” tersebut, yang lebih menguatkan bahwa usia kakek itu lebih
tua adalah ketika dia berbicara “Hati-hati dengan mulutmu! Aku dahulu juga
ikut berperang. Jadi wajar saja bahwa kakek menganggap “anak” itu gila.
Untuk
yang terakhir adalah percakapan “anak”
itu dengan tukang sapu. Jika melihat realita tukang sapu di sekitar Yogyakarta
perlu dipertimbangkan lagi, si “anak” memanggil
tukang sapu dengan sebutan “mas”. Kebanyakan tukang sapu di
sekitar Yogyakarta adalah bapak-bapak yang biasanya sudah mulai berumur lanjut,
karena pada usia lanjut apapun pekerjaannya biasanya bisa diterima dengan
lapang dada. Selain itu, pekerjaan ini sudah tidak begitu banyak memerlukan
banyak tenaga. Jika dilogika, apabila tukang sapu tersebut adalah seorang anak
muda sangat kurang masuk akal, karena “gengsi” anak muda biasanya lebih memilih
pekerjaan lain selain tukang sapu. Semisal bekerja di kafe, warnet, toko,
fotokopian dll, itu pasti akan menjadi pilihan utama daripada harus menjadi
tukang sapu. Panggilan “mas” menunjukan bahwa tukang sapu
itu masih muda, ada kemungkinan usianya hanya terpaut dua sampai tujuh tahun
dari si “anak” atau Karyo.
Jadi,
tokoh Karyo pada cepen Yani apabila itu sebagai simbol belum bisa sampai makna
terdalam, karena secara logika anak-anak belum tahu persis tentang
masalah-masalah negara, dan seharusnya Yani lebih mempertimbangkan hal
tersebut. Selain itu konflik di dalamnya mungkin harus ditambah, supaya pembaca
bisa terus mengikuti alurnya.
Semoga bermanfaat.
Salam sastra!
Jejak Imaji, 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar