Rabu, 28 Februari 2018

MEMBACA SAMPAI KEDALAMAN

“Lantas apakah kau rela mati jika tak diizinkan membaca? Bagaimana dengan usiamu yang semakin mempersempit jarak dengan kematian? Apa kau masih mau malas membaca?”


Perjumpaan dengan Buku-buku.

Detak detik jam yang berbunyi tak lagi kuhiraukan. Aku semakin larut tenggelam pada sihir kata. Buku. Paragraf demi paragraf luntur sudah di mataku, dan tentu cerita-cerita fiksi telah menghidupi malam-malamku. Belum terlalu lama aku mencintai buku, seperti aku mencintai seorang perempuan. Di awal usia duapuluhan, mungkin. Aku hanya seorang pemuda desa yang berlagak hidup di kota, berpura-pura gaul, berpura-pura pintar, namun satu buku pun belum pernah ada yang kuselesaikan semenjak bangku TK. Tak terkecuali buku pelajaran dan LKS. Beberapa tahun mengembara di Yogyakarta, aku mulai mengenal buku. Belajar membaca secara istiqomah. Baik buku fiksi maupun non-fiksi. Baik buku yang tertulis, atau “buku” yang masih berupa perwujudan nyata di lingkungan sekitar.

Perkenalan dan perjumpaan dengan keberagaman manusia tentunya mampu mengubah pola pikir siapapun. Seorang guru pernah berkata padaku bahwa ”Buku yang kamu beli bukan kamu yang memilih, tetapi buku itu yang memilihmu.” Hal tersebut menjadi salah satu alasanku untuk membeli berbagai macam jenis buku. Tak terhitung berapa rupiah yang kukeluarkan, akan tetapi buku lebih dari segalanya. Termasuk makan, dan aku lebih memilih berpuasa. Menyisihkan uang makan untuk membeli buku. Atau aku mesti memeras orang tua, meminta uang saku tambahan untuk membeli buku. Tak ada cara lain yang bisa kulakukan, karena keinginan memiliki sebuah buku melebihi perasaan ingin memiliki seorang perempuan.
Mesti tak seberapa buku yang kumiliki, setidaknya sepulang dari Yogyakarta aku bisa membuat mini-perpustakaan. Tentu saja dengan buku-buku sisa perkuliahan. Buku-buku teman yang -sengaja- lupa tidak dikembalikan. Bahkan buku-buku hasil sortiran dari berburu buku di Pasar Senthir dan Pasar Kangen.

 Penampakan Taman Baca Sekar Mandiri Dusun Binangun

Hal Tersulit adalah Mengamalkan
Bagiku hal tersulit adalah mengamalkan, tentu saja. Tidak lain karena salah satu kalimat di dalam teks pembukaan UUD 1945 berbunyi “…turut mencerdaskan kehidupan bangsa…”. Tujuan fundamental mini-perpustakaanku berasal dari hal tersebut. Awal kubuka mini-perpustakaan memang menjadi desas-desus di lingkungan sekitar. Tapi tak kupikir hal semacam ngrasani itu. Hal terpenting bagiku adalah mini-perpustakaan bisa berdiri, rak buku bisa tertempel di dinding, buku-buku bisa saling bersandar di rak buku tersebut. Dan, tentu saja aku bisa menyelipkan kerinduanku kepada malam-malam sepiku di sela-sela buku. Malam-malam aku menghabiskan waktu untuk membaca buku.
Setelah mengantongi izin Kadus, RW, RT, dan tentu saja izin Simbah si pemilik rumah mini-perpustakaan bisa mulai dibuka. Hari-hari awal dibuka bukan main ramainya, mini-market tentu saja kalah ramai. Warga begitu antusias, meskipun usia di atas duapuluh tahun hanya beberapa dan silih berganti untuk berkunjung. Justru kemerdekaan hakiki terpancar dari wajah-wajah anak usia sekolah. Buku-buku bacaan fiksi anak ludes, karena memang jenis buku tidak terlalu banyak. Terkadang anak-anak harus membaca satu buku secara bersamaan dua sampai empat orang. Tentu hal ini tidak baik, karena membaca butuh konsentrasi dan ketenangan.
Pekerjaan yang tidak mudah untuk mendapatkan buku bacaan baru, dengan posisi resmi sebagai seorang pengangguran. Kuputuskan membuat informasi melalui beberapa media, bahwa mini-perpustakaan yang kubuka kekurangan bahan bacaan anak. Tidak berselang lama, beberapa buku masuk menambah koleksi. Sulit dibayangkan memang, kesenangan anak mendapat buku bacaan baru. Selama ini hanya mainan baru yang bisa membuat anak mendapatkan kesenangan mutlak.
Kabar kelahiran mini-perpustakaan menyebar sampai ke telinga petinggi desa. Ah, tentu ini hal baik. Kurang lebih setelah dua bulan mini-perpustakaan yang kukelola mendapat bantuan anggaran dari desa. Dana segar! Memperbarui buku, meja, dan tentu saja hal terasyik adalah kerjasama dengan organisasi Posdaya Sekar Mandiri. Organisasi yang memang membidangi pendidikan di desa Gunungtawang. Mini-perpustakaan kuubah menjadi Taman Baca, dan tentu saja resmi memiliki nama Taman Baca Sekar Mandiri.
Selain bergerak dalam bidang perpustakaan, aku memutuskan untuk menjadikan taman baca ini sebagai tempat bimbingan belajar bagi anak-anak dusun. Tidak ada iuran lain selain iuran limaratus rupiah setiap minggu untuk biaya pembelian alat tulis dan biaya operasional taman baca.

Membaca Sebagai Suatu Ketrampilan Berbahasa (Henry Guntur Tarigan)
            Salah satu alasan lain berdirinya taman baca di Dusun Binangun yaitu, tidak adanya wadah bagi anak-anak yang ingin berkembang. Pekerjaan orang tua kerap kali menjadi salah satu masalah anak kesulitan dalam mengerjakan pekerjaan rumah/tugas rumah. Orang tua yang sibuk atau terkadang terlalu lelah sehingga anak kurang diperhatikan. Taman baca mewadahi anak-anak yang ingin berkembang dan belajar dari buku-buku.
            Mendapatkan pendidikan adalah hak setiap orang, termasuk anak-anak. Dalam tahapan belajar berbahasa ada empat ketrampilan berbahasa yang harus dikuasai, yaitu (1) menyimak; (2) berbicara; (3) membaca; (4) menulis. Tahapan-tahapan ini menjadi salah satu pendidikan yang harus didapatkan oleh anak. Tahap pertama dan kedua tentunya sudah berjalan pada tataran keluarga. Pada tahap ketiga yaitu membaca, selain orang tua diperlukan juga sebuah wadah untuk memberikan sarana dan prasarana bagi anak untuk belajar membaca. Seperti halnya perpustakaan atau taman baca.
            Anak-anak yang gemar membaca setidaknya mereka bisa berkomunikasi dengan baik. Baik dalam bahasa lisan maupun dalam bahasa tulis. Hal ini sangat kentara kurasakan. Ada banyak perbedaan sebelum dan sesudah anak-anak belajar dan membaca di taman baca. Hal tersebut adalah pola berpikir dalam berbicara. Meskipun hal ini belum berlaku bagi semua anak, setidaknya beberapa anak sudah mulai menunjukkan kemajuan yang positif.


Proses Bimbingan Belajar dan Literasi
Mengakar Pada Membaca
            Membudayakan membaca di lingkungan Indonesia memang tidak mudah, Indonesia! Butuh ketekunan dan kesabaran ekstra untuk mengajak warga sekitar sadar bahwa membaca itu penting. Memang tidak ada cara lain, selain memberikan contoh secara langsung kepada warga sekitar. Membimbing dan membina anak-anak yang masih mudah diubah pola pikirnya. Kemudian menularkan pada warga yang usia di atasnya.
Hal ini setidaknya sedang kulakukan. Hasil dari sebuah pengabdian dalam dunia literasi tidak akan bisa terlihat dalam satu atau dua tahun. Paling tidak membutuhkan waktu sekitar sepuluh tahun. Begitulah yang pernah guruku katakan. Benar atau tidak, setidaknya aku pernah berjuang. Menanamkan akar pada sebuah bacaan.
Menapak tangga usia bukan lagi perkara hidup, melainkan perkara pandangan hidup. Bagaimana kau akan hidup tanpa memiliki pandangan hidup? Bagaimana caramu mendapatkan pandangan hidup kalu kau tidak “membaca”?



 Di sela-sela libur sekolah, taman baca mengadakan permainan jelajah desa.

Mengucap Selamat!
            Perpustakaan daerah merupakan jantung kehidupan masyarakat. Selamat bertambah usia bagi Perpustakaan Daerah Wonosobo. Terus sirami akar-akar yang sudah menancap pada kehidupan literasi di Wonosobo.

Postingan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog #WonosoboSenengMaca

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TUGAS KELAS X BAHASA INDONESIA WAJIB (SMATAQ)

Dalam upaya untuk tetap melaksanakan kegiatan belajar mengajar di SMA Takhassus Al-Qur'an via daring, maka berikut tugas untuk kelas X b...