“Lantas
apakah kau rela mati jika tak diizinkan membaca? Bagaimana dengan usiamu yang
semakin mempersempit jarak dengan kematian? Apa kau masih mau malas membaca?”
Perjumpaan
dengan Buku-buku.
Detak
detik jam yang berbunyi tak lagi kuhiraukan. Aku semakin larut tenggelam pada sihir
kata. Buku. Paragraf demi paragraf luntur sudah di mataku, dan tentu
cerita-cerita fiksi telah menghidupi malam-malamku. Belum terlalu lama aku
mencintai buku, seperti aku mencintai seorang perempuan. Di awal usia
duapuluhan, mungkin. Aku hanya seorang pemuda desa yang berlagak hidup di kota,
berpura-pura gaul, berpura-pura pintar, namun satu buku pun belum pernah ada
yang kuselesaikan semenjak bangku TK. Tak terkecuali buku pelajaran dan LKS. Beberapa
tahun mengembara di Yogyakarta, aku mulai mengenal buku. Belajar membaca secara
istiqomah. Baik buku fiksi maupun non-fiksi.
Baik buku yang tertulis, atau “buku” yang masih berupa perwujudan nyata di
lingkungan sekitar.
Perkenalan
dan perjumpaan dengan keberagaman manusia tentunya mampu mengubah pola pikir
siapapun. Seorang guru pernah berkata padaku bahwa ”Buku yang kamu beli bukan
kamu yang memilih, tetapi buku itu yang memilihmu.” Hal tersebut menjadi salah
satu alasanku untuk membeli berbagai macam jenis buku. Tak terhitung berapa
rupiah yang kukeluarkan, akan tetapi buku lebih dari segalanya. Termasuk makan,
dan aku lebih memilih berpuasa. Menyisihkan uang makan untuk membeli buku. Atau
aku mesti memeras orang tua, meminta uang saku tambahan untuk membeli buku. Tak
ada cara lain yang bisa kulakukan, karena keinginan memiliki sebuah buku melebihi
perasaan ingin memiliki seorang perempuan.
Mesti
tak seberapa buku yang kumiliki, setidaknya sepulang dari Yogyakarta aku bisa
membuat mini-perpustakaan. Tentu saja dengan buku-buku sisa perkuliahan. Buku-buku
teman yang -sengaja- lupa tidak dikembalikan. Bahkan buku-buku hasil sortiran
dari berburu buku di Pasar Senthir dan Pasar Kangen.
Penampakan Taman Baca Sekar Mandiri Dusun Binangun
Hal
Tersulit adalah Mengamalkan
Bagiku
hal tersulit adalah mengamalkan, tentu saja. Tidak lain karena salah satu
kalimat di dalam teks pembukaan UUD 1945 berbunyi “…turut mencerdaskan kehidupan bangsa…”. Tujuan fundamental
mini-perpustakaanku berasal dari hal tersebut. Awal kubuka mini-perpustakaan
memang menjadi desas-desus di lingkungan sekitar. Tapi tak kupikir hal semacam ngrasani itu. Hal terpenting bagiku
adalah mini-perpustakaan bisa berdiri, rak buku bisa tertempel di dinding,
buku-buku bisa saling bersandar di rak buku tersebut. Dan, tentu saja aku bisa
menyelipkan kerinduanku kepada malam-malam sepiku di sela-sela buku. Malam-malam
aku menghabiskan waktu untuk membaca buku.
Setelah
mengantongi izin Kadus, RW, RT, dan tentu saja izin Simbah si pemilik rumah
mini-perpustakaan bisa mulai dibuka. Hari-hari awal dibuka bukan main ramainya,
mini-market tentu saja kalah ramai. Warga begitu antusias, meskipun usia di
atas duapuluh tahun hanya beberapa dan silih berganti untuk berkunjung. Justru kemerdekaan
hakiki terpancar dari wajah-wajah anak usia sekolah. Buku-buku bacaan fiksi
anak ludes, karena memang jenis buku tidak terlalu banyak. Terkadang anak-anak
harus membaca satu buku secara bersamaan dua sampai empat orang. Tentu hal ini
tidak baik, karena membaca butuh konsentrasi dan ketenangan.
Pekerjaan
yang tidak mudah untuk mendapatkan buku bacaan baru, dengan posisi resmi
sebagai seorang pengangguran. Kuputuskan membuat informasi melalui beberapa
media, bahwa mini-perpustakaan yang kubuka kekurangan bahan bacaan anak. Tidak berselang
lama, beberapa buku masuk menambah koleksi. Sulit dibayangkan memang,
kesenangan anak mendapat buku bacaan baru. Selama ini hanya mainan baru yang bisa
membuat anak mendapatkan kesenangan mutlak.
Kabar
kelahiran mini-perpustakaan menyebar sampai ke telinga petinggi desa. Ah, tentu
ini hal baik. Kurang lebih setelah dua bulan mini-perpustakaan yang kukelola
mendapat bantuan anggaran dari desa. Dana segar! Memperbarui buku, meja, dan tentu
saja hal terasyik adalah kerjasama dengan organisasi Posdaya Sekar Mandiri. Organisasi
yang memang membidangi pendidikan di desa Gunungtawang. Mini-perpustakaan
kuubah menjadi Taman Baca, dan tentu saja resmi memiliki nama Taman Baca Sekar
Mandiri.
Selain
bergerak dalam bidang perpustakaan, aku memutuskan untuk menjadikan taman baca
ini sebagai tempat bimbingan belajar bagi anak-anak dusun. Tidak ada iuran lain
selain iuran limaratus rupiah setiap minggu untuk biaya pembelian alat tulis
dan biaya operasional taman baca.
Membaca
Sebagai Suatu Ketrampilan Berbahasa (Henry Guntur Tarigan)
Salah satu alasan
lain berdirinya taman baca di Dusun Binangun yaitu, tidak adanya wadah bagi
anak-anak yang ingin berkembang. Pekerjaan orang tua kerap kali menjadi salah
satu masalah anak kesulitan dalam mengerjakan pekerjaan rumah/tugas rumah. Orang
tua yang sibuk atau terkadang terlalu lelah sehingga anak kurang diperhatikan. Taman
baca mewadahi anak-anak yang ingin berkembang dan belajar dari buku-buku.
Mendapatkan pendidikan adalah hak setiap orang, termasuk
anak-anak. Dalam tahapan belajar berbahasa ada empat ketrampilan berbahasa yang
harus dikuasai, yaitu (1) menyimak; (2) berbicara; (3) membaca; (4) menulis. Tahapan-tahapan
ini menjadi salah satu pendidikan yang harus didapatkan oleh anak. Tahap pertama
dan kedua tentunya sudah berjalan pada tataran keluarga. Pada tahap ketiga yaitu
membaca, selain orang tua diperlukan juga sebuah wadah untuk memberikan sarana
dan prasarana bagi anak untuk belajar membaca. Seperti halnya perpustakaan atau
taman baca.
Anak-anak yang gemar membaca setidaknya mereka bisa
berkomunikasi dengan baik. Baik dalam bahasa lisan maupun dalam bahasa tulis. Hal
ini sangat kentara kurasakan. Ada banyak perbedaan sebelum dan sesudah
anak-anak belajar dan membaca di taman baca. Hal tersebut adalah pola berpikir
dalam berbicara. Meskipun hal ini belum berlaku bagi semua anak, setidaknya
beberapa anak sudah mulai menunjukkan kemajuan yang positif.
Proses Bimbingan Belajar dan Literasi
Mengakar
Pada Membaca
Membudayakan membaca
di lingkungan Indonesia memang tidak mudah, Indonesia! Butuh ketekunan dan
kesabaran ekstra untuk mengajak warga sekitar sadar bahwa membaca itu penting. Memang
tidak ada cara lain, selain memberikan contoh secara langsung kepada warga
sekitar. Membimbing dan membina anak-anak yang masih mudah diubah pola pikirnya.
Kemudian menularkan pada warga yang usia di atasnya.
Hal
ini setidaknya sedang kulakukan. Hasil dari sebuah pengabdian dalam dunia
literasi tidak akan bisa terlihat dalam satu atau dua tahun. Paling tidak membutuhkan
waktu sekitar sepuluh tahun. Begitulah yang pernah guruku katakan. Benar atau
tidak, setidaknya aku pernah berjuang. Menanamkan akar pada sebuah bacaan.
Menapak
tangga usia bukan lagi perkara hidup, melainkan perkara pandangan hidup. Bagaimana
kau akan hidup tanpa memiliki pandangan hidup? Bagaimana caramu mendapatkan
pandangan hidup kalu kau tidak “membaca”?
Di sela-sela libur sekolah, taman baca mengadakan permainan jelajah desa.
Mengucap
Selamat!
Perpustakaan daerah merupakan jantung kehidupan
masyarakat. Selamat bertambah usia bagi Perpustakaan Daerah Wonosobo. Terus sirami
akar-akar yang sudah menancap pada kehidupan literasi di Wonosobo.
Postingan
ini diikutsertakan dalam Lomba Blog #WonosoboSenengMaca
Tidak ada komentar:
Posting Komentar