“Lantas
apakah kau rela mati jika tak diizinkan membaca? Bagaimana dengan usiamu yang
semakin mempersempit jarak dengan kematian? Apa kau masih mau malas membaca?”
Perjumpaan
dengan Buku-buku.
Detak
detik jam yang berbunyi tak lagi kuhiraukan. Aku semakin larut tenggelam pada sihir
kata. Buku. Paragraf demi paragraf luntur sudah di mataku, dan tentu
cerita-cerita fiksi telah menghidupi malam-malamku. Belum terlalu lama aku
mencintai buku, seperti aku mencintai seorang perempuan. Di awal usia
duapuluhan, mungkin. Aku hanya seorang pemuda desa yang berlagak hidup di kota,
berpura-pura gaul, berpura-pura pintar, namun satu buku pun belum pernah ada
yang kuselesaikan semenjak bangku TK. Tak terkecuali buku pelajaran dan LKS. Beberapa
tahun mengembara di Yogyakarta, aku mulai mengenal buku. Belajar membaca secara
istiqomah. Baik buku fiksi maupun non-fiksi.
Baik buku yang tertulis, atau “buku” yang masih berupa perwujudan nyata di
lingkungan sekitar.